Semesta sedang berduka agaknya, hingga tak mengijinkan mentari muncul seminggu belakangan. Hawa dingin setia memeluk bumi, membuat para manusia tak henti mengucap rindu pada hangatnya cinta sang surya. Begitulah gambaran nyata perasaan manusia yang kurang memaknai syukur pada Ilahi. Saat mentari terik menemani, mereka akan bersungut dan mencaci panas sinarnya, kemudian membandingkan dengan keindahan dan kesegaran guyur hujan. Namun, kala hujan tak henti membasahi, mereka akan meraung dan menghujat bumi yang terus basah, menggerutu dalam dingin, mencebik pada buliran air, bahkan menyumpah serapah padanya sembari berharap sinar mentari hangat menemani.Manusia seegois itu, kan? Betapa tak tahu dirinya kita, mengusir yang ada demi mengharap yang belum menjadi haknya. Namun, ketika yang baru datang menyapa, maka hati akan merindukan yang lama. Begitulah hidup jika tanpa rasa syukur atas segala sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya tak akan ada puasnya.
“Zi, mami mau beli ini, nih. Hermes Kelly yang navy cantik banget. Mami kan punya dress baru, tuh, cocok banget.”
Zia yang baru saja menghapus polesan make up di wajahnya menoleh ke arah gawai sang ibu. Wanita bergincu merah itu terlihat sangat senang dan menatap putrinya penuh harap. Gaziya tak akan bisa menolak permintaan sang ibu.
“Mami mau?”
“Iya. Tapi, papi mu mana mampu. Papi mu itu cuma suka buang-buang uang. Ngurusin proyek, kok punya orang miskin. Mana ada duitnya, yang ada tekor terus. Kemarin aja mami nutup tagihan sales material sampai tiga ratus juta.”
Zia tahu jika sang ibu sedang berusaha membujuknya agar mengijinkan membeli tas mahal yang menjadi kegemarannya.
“Nanti kamu kan bisa pakai juga. Lagian sebentar lagi kamu kuliah. Kan? Jadi bisa dipakai ke kampus.”
“Tante ... tante mau beli tas ya? Kalau clutch gini suka nggak?”
Sebuah cluctch keluaran Hermes bertipe jige Elan disodorkan oleh sosok pemuda yang sedari tadi menenteng paper bag di depan pintu masuk ruang ganti.
“Reza? Wah, ini cantik banget, Buat tante?”
“Mami ... jangan Mi, nanti Zia beliin. Jangan terima itu. Za, mending kamu kasih mama kamu. Aku kan udah bilang, aku nggak mau berhutang budi lagi ke kamu. Kamu udah terlalu banyak bantuin aku ....”
Sarah mematung saat tangan putrinya merebut clutch yang berbingkai kardus cantik bermika dari tangannya.
“Zi ... aku ngasih ini ke tante Sarah. Lagian, mami kamu kan mami ku juga. Hm?”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Reza, beberapa orang yang mendengar memekik tertahan karena keuwuan pemuda itu.
“Oh God! Gila itu ponakan bu bos romantis banget.”
“Ih, kok, Gaziya sejual mahal itu? Apa kurang mahal hadiahnya?”
“Reza itu gantengnya maksimal, kantongnya tebel, udah gitu selain model dia juga atlit e-sport , loh. Cocok banget kan sama Gaziya.”
Telinga Zia cukup sehat untuk mendengar seluruh bisik-bisik orang di ruangan itu.
“Zi ... aku beli ini juga bukan dengan uang orang tua ku, kok. Ini beneran hasil kerjaku sendiri.”
Jemari Reza terulur tapi Zia menepisnya. Bukan karena dia jijik atau marah, tapi ini masalah syariat.
“Za ....”
“Gaziya ... kamu ini jangan jaul mahal. Mami setuju kok kamu deket sama Reza. Dia baik, dia ganteng, kurang apa sih?”
Sarah melotot pada putrinya sebelum merangkul pemuda di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TABIR CINTA (TAMAT) - TERBIT
RomanceGaziya Humairah El Shanum, seorang model yang menjadi tulang punggung keluarga sejak belia. Tuntutan pekerjaan membuatnya beberapa kali harus mengumbar aurat, sehingga menyebabkan banyak fitnah bermunculan. Zia hanya bisa meratap pada Sang Pencipta...