CHAPTER 7

26 2 0
                                    

EUN WOO’s PART

Senja langsung keluar dari mobil begitu aku ia menjawab pertanyaanku. Dia berjalan mendahuluiku, sok tahu. pikirku. Namun ketika kerumunan orang mulai menghalangi jalannya dan ada dua jalan di hadapannya, Senja berhenti dan menoleh. “Jalan mana yang harus kuambil?”

Tanpa menjawab pertanyaannya aku terus berjalan mengambil arah kanan, karena di sanalah pohon-pohon Sakura yang sedang mekar-mekarnya berada. Sebenarnya di pertengahan bulan april seperti ini, bunga Sakura telah bersiap untuk berguguran, pohon itu hanya mekar selama 8 hari dan biasanya tak lebih. Sejak diawal kedatangan tadi juga sudah banyak kutemui kelopak-kelopak bunga Sakura di jalan-jalan yang mungkin tersangkut dan terbawa oleh para pejalan kaki. Aku heran kenapa Senja tak heboh sama sekali, mengingat dia bilang dia sangat ingin melihat pohon Sakura.

“Cherry blossom!” tiba-tiba Senja yang memang berjalan tepat di belakangku memekik dengan keras begitu di depan kami mulai terlihat pohon-pohon Senja yang rindang dengan bunga-bunga cantik yang bermekaran walaupun banyak juga yang jatuh berguguran.

Aku menoleh dan mendapatinya benar-benar menatap takjub pemandangan di hadapannya, aku menggeleng pelan. “Ayo jalan.” ajakku, benar-benar tidak lucu kalau jauh-jauh ke tempat ini dan hanya berdiam memandangi pepohonan dari jauh tanpa melihatnya dari dekat.

Aku berjalan memimpin, yakin kalau gadis itu pasti mengikuti dari belakang. Kerumunan orang mulai ramai, tidak terlalu padat sehingga masih bisa bebas berjalan tanpa harus terhimpit sana-sini. Harus kuakui bunga Senja memang sangat indah apalagi ketika ditimpa matahari sore yang bersinar, walau sejak tadi tak sedikit pula kelopak-kelopaknya yang berjatuhan di atas kepalaku, sedikit menyebalkan memang tapi biarlah.

Entah karena aku terlalu terfokus pada pohon-pohon yang menjulang di sekililing tempatku berjalan atau memang aku yang sejak tadi tak memerhatikan bahwa Senja sudah tidak mengikutiku lagi. ketika aku menoleh gadis itu sudah tak ada di belakangku, dengan tergesa aku kembali berjalan ke belakang mencarinya. Mungkin saja dia tanpa sadar berhenti di satu titik.

“GUNAKAN DENGAN BAIK KEDUA MATAMU NONA! KAU LIHAT BAJU MAHALKU INI KOTOR, KAU TAHU BERAPA HARGANYA, HAH?!”

“Berapapun harganya bisakah kau tidak berteriak padanya?” aku menatap tajam laki-laki paruh baya yang baru saja berteriak pada Senja.

Saat aku kembali menelusuri jalan yang tadi kulewati, aku melihat gadis kecil ini sedang tertunduk di hadapan seorang laki-laki tinggi yang sedang menunjuk-nunjuk dan berteriak dengan sangat keras padanya, aku benci caranya menunjuk-nunjuk Senja seperti itu. apa-apaan dia, dia tak ada hak melakukannya.

Aku melihat noda kopi yang mengotori blues hijau yang dipakainya. Senja yang berdiri di belakangku hanya menunduk tak berdaya, aneh sekali melihatnya takut seperti itu.

“Oh, dia kekasihmu? Tolong ajarkan padanya untuk menggunakan dengan baik—“

Aku menyodorkan 5 lembar uang 10 ribu won padanya. “Aku hanya punya segini saat ini, ini kartu namaku dan silahkan mengirimkan nomor rekening anda dan akan kukirimkan kekurangannya.” Ucapku memotong perkataaannya, Aku menarik tangannya dan meletakkan uang beserta kartu namaku di telapak tangannya, wajah laki-laki itu memerah, mungkin malu. Perdebatan yang sangat sepele ini memang telah membuat kami menjadi tontonan orang-orang sekitar yang tengah berlalu lalang, aku tak peduli.

Aku menoleh dan menggenggam tangan Senja erat, “kaja.” Ajakku, tangannya dingin. Mungkin dia benar-benar ketakutan.

Kami duduk di bangku-bangku yang memang disediakan bagi pengunjung festival, laki-laki bodoh itu benar-benar telah kehilangan otaknya, bagaimana mungkin dia bisa semarah itu pada gadis yang jelas-jelas lebih banyak terkena tumpahan kopi daripada dia. Kulihat kaos Senja, jeans pendeknya, sekitar pahanya, dan juga kakinya, semuanya terkena kopi.

LOVE HURTSWhere stories live. Discover now