Begitulah percakapan yang terjadi. Lima bulan kemudian, diadakan diskusi lagi khusus mereka bertiga,
“Gimana Har buku yang kamu pelajari ?” tanya Sobri
“Hmm, kalian benar, ternyata akulah yang salah mencari guru, padahal aku merasa cukup cerdas karena sering mengakses internet dan membaca buku yang beragam.”
"Jadikan buku dan internet sebagai referensi, tapi jadikan guru sebagai penyeleksi kebenaran di internet maupun buku yang kita baca, karena memang buku dan internet sangat liar informasinya. Untuk itu, memilih guru itu penting, karena beliaulah yang jadi rujukan kamu dalam bertindak. Salah guru, salah jalan”
"Iya, brarti yang selama ini aku fahami adalah Islam ekstrimis”
"Har, ingat! Islam satu, tidak ada Islam ekstrimis! Yang ada faham radikal, begitu juga dengan liberal, tidak ada Islam liberal, yang ada hanya faham liberal !, tidak ada Islam ekstrimis ataupun liberal, yang ada hanyalah Islam!”
“Iya, maafkan. Ternyata benar, kalau akal dianggap jaring, maka ada bagian yang rumpang dari akal yang kupunya. Jika kecerdasan tempatnya di otak, maka akal yang berfungsi untuk mengetahui yang benar dan salah tempatnya di hati. Karena otak dipengaruhi hati dan hati berasal dari ilmu yang otak simpan. Otak simpan ilmu, hati yang memilih, maka pantas, jika keresahaan tetap menyelimutiku akibat perasaan lebih mulia dari orang lain.”
“Alhamdulillah kamu sadar, semoga istiqomah ya!”
Itulah bentuk penyemangatan Sobri dan Umar pada Muntahar, lewat diskusi itulah yang meyebabkan mereka menjadi semakin akrab dan berorientasi pada kebaikan.
Sobri dan Umar satu fakultas, yaitu Fakultas MIPA. Sedangkan Muntahar, Fakultas Tehnik Mesin, jadi layaknya di SMA/SMK Se-derajat yang berbeda jurusan.
Muntahar, Sobri dan Umar sering betemu dan diskusi hanya ketika tiba istirahat, sholat, dan berorganisasi. Berbeda dengan Umar dan Sobri yang terlihat seperti pohon pinang dibelah dua, Umar dan Sobri jelas sering diskusi satu sama lain, toh mereka memang satu fakultas.
Setelah dua semester, dibukalah beasiswa ke luar negeri. Informasi itu menggugah Muntahar, karena sedari dulu Muntahar memiliki cita - cita untuk berkuliah di Jerman.
Hari pendaftaran tiba. Dengan usaha dan doa yang sama - sama kuat juga dukungan dari sahabat maupun orang tuanya, ia membranikan diri mengikuti tes beasiswa ke Jerman.
Bulan berikutnya, tiba saatnya pengumuman beasiswa ke Jerman keluar dan terpampang nama Muntahar di papan pengumuman peraih beasiswa,
"Sudah lah Har, jangan ke Jerman dulu, kita nikmati indahnya Indonesia dulu” Sobri dan Umar membujuk. Walaupun mereka tahu, membujuk pun percuma.
“Cie, gausah ngerayu gitu, jadi enak dirayu gini, eaaa”
"Geer betul nih bocah Bri”
“Ah kamu Har, kurang Nasionalisme nih, pake ke luar negeri segala."
“Pait emang Bri si Muntahar”
"Hei, justru aku ingin membuktikan rasa Nasionalisme, aku bukan hanya menjadi penikmat Indonesia, tapi ingin juga membangun Indonesia lewat pendidikan di sana nanti” Jawab Muntahar.
“Wah dia ngegas Mar, hehe, kita bercanda doang kok”
“Au nih, gimana mau berperan kalo baperan hehe” timpal Umar
“Ga ngegas itu, salah intonasi doang hehe.” Sahut Muntahar.
Karena bahagia dan bersyukur atas apa yang terjadi, Muntahar mulai menjadi anak yang taat kepada kedua orang tuanya. Sikapnya itu juga dipengaruhi oleh pemahaman yang lurus, sehingga akhlaknya pun terus diusahakan untuk diasah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaring Rumpang
Short StoryLabil dapat dikatakan salah satu sifat yang melekat pada diri remaja, tak terkecuali Muntahar yang duduk di bangku SMA saat ini. Cap buruk yang tak sengaja tersemat kepada dirinya, membuatnya termotivasi untuk berlaku buruk pula. Namun, Ia remaja...