Entah pukul berapa mata Ana terpejam, yang jelas saat terbangun waktu sudah menunjukkan jam empat pagi. Dengan kepala yang masih terasa penuh akibat banyaknya hal yang terpikirkan sejak semalam, wanita cantik itu meregangkan tubuh. Berusaha membuah tubuh dan pikirannya menjadi rileks.
Akan tetapi, begitu menoleh ke belakang, bibir Ana otomatis mencibir laki-laki yang ternyata sudah pindah posisi jadi menghadapnya, "dasar bocah! Siapa kemarin yang sok-sokan tak mau memandangku?"
Ana memandang wajah laki-laki yang berusia lima tahun di bawahnya. Wajahnya terlihat polos saat tidur, tidak ada kesan menyebalkan sama sekali. Berbeda ketika bangun, suaminya ini selalu memperlihatkan wajah arogan seakan-akan bisa menguasai segala hal yang pria itu mau.
"Baiklah, mulai nanti permainan akan dimulai," bisik Ana sebelum beranjak dari tempat tidur.
Ya, semalam dia sudah memikirkan apa saja yang akan dilakukannya. Pertama dia akan membuat hubungan suami dan kekasih gelapnya itu merenggang. Kenapa? Tentu saja karena dia tidak mau mengalah! Dia adalah istri sah!
Apakah itu berarti Ana telah jatuh cinta? Tentu saja tidak! Namun, ini masalah harga diri. Enak saja mereka memperlakukannya seperti orang bodoh. Membawa hidupnya dalam drama tidak penting seperti ini. Jadi ingat, ini tentang harga diri!
Ya, meskipun dalam hal ini dia juga diuntungkan karena seluruh hutangnya akan dilunasi. Namun, tetap saja tidak ada dalam pikirannya untuk mempermainkan pernikahan.
Setelah puas mengamati suami bocahnya sebentar, Ana bergegas membersihkan diri. Kemudian berlanjut menunaikan kewajibannya. Namun, ketika semua selesai dan dia berniat menuju dapur, langkahnya terhenti.
Dia merasa bimbang. Haruskah membangunkan suaminya atau membiarkannya begitu saja. Ana menghela napas panjang, saat hati nuraninya melarang dia untuk meninggalkan sang suami.
Ck! Kalau seperti ini dia benar-benar membenci sifatnya yang gampang tidak tega pada orang lain. Padahal dia sudah bertekad membuang rasa itu, agar misi membuat suaminya meninggalkan si simpanan bisa berhasil.
Kalah oleh hati nurani, akhirnya perlahan Ana berjalan menuju nakas tempat sang suami menaruh ponsel. Dia bernapas lega saat ponsel itu tidak terkunci. Dengan cepat dia menyetel alarm.
Ana tersenyum tipis sambil meletakkan kembali ponsel itu di nakas, yang penting dia sudah berusaha membangunkan sang suami. Soal bangun apa tidaknya itu sudah menjadi urusan Arjuna.
***
"Lho, Ana kamu ngapain?" Mirna-si tukang masak-menatap heran kedatangan teman seperjuangannya, yang kini telah berubah status menjadi majikannya.
"Mau buat teh." Ana mulai menjerang air, lalu duduk di kursi bersama Mirna dan Eka. Wanita itu menopang wajahnya dengan tangan yang tertekuk di tas meja. Pandangannya memperhatikan teman-temannya yang sedang memotong sayuran.
"Wah, aku ngga sangka kamu masih mau bikin sendiri. Kukira kamu bakal semena-mena," goda Mirna, entah mengapa melihat wajah malas di wajah cantik sahabatnya itu, membuat dia senang.
Melirik ke arah kiri, di mana Mirna duduk, Ana memutar bola matanya seraya berdecak pelan saat melihat temannya itu tersenyum miring.
"Udah jangan digoda terus si Ana." Eka, yang paling tua di antara mereka berusaha menengahi dua wanita yang ngakunya sahabat tapi sering beradu pendapat itu.
Di antara pekerja yang lain, memang kedua orang itu yang paling dekat dengan Ana. Hal itu dikarenakan, mereka satu bagian dengannya. Ya, Ana memang ditempatkan di bagian masak, padahal keahliannya begitu minim dalam urusan perdapuran.
Jadi di sini terdapat banyak pekerja. Bagian masak ada tiga, tapi sekarang ada dua karena Ana sudah tak bekerja lagi. Bagian bersih-bersih ada lima orang, sopir ada tiga, sedangkan tukang kebun juga tiga orang.
Apakah Ana akrab dengan mereka semua? Tentu saja tidak!
Sama seperti tempat kerja pada umumnya, di sini juga ada gesekan antar pekerja. Maklum lah, pegawai di sini lumayan banyak. Apalagi Ana, yang terkenal pendiam hingga dianggap oleh pekerja yang lain sosok angkuh. Makanya wanita itu tidak akrab dengan lainnya.
"Bikinkan aku teh lemon!"
Mereka bertiga menoleh pada wanita yang meski masih menggunakan gaun tidur, tetap terlihat mempesona.
Ana berusaha tidak memutar bola mata, kala wanita itu menatapnya tajam seolah memberi peringatan agar Ana tidak macam-macam. Namun, siapa yang peduli? Toh, dia tidak salah apapun, siapa suruh melibatkannya dalam drama yang mereka ciptakan?
Sungguh, dia masih tidak mengerti mengapa Arjuna dan Rena menyembunyikan hubungan mereka? Padahal mereka 'kan hanya saudara tiri.
Sepertinya pelan-pelan dia harus mencari tahu apa yang mereka sembunyikan!
"Iya, non." Mirna segera berdiri.
"Tunggu, aku mau dia yang bikin." Wanita berkulit putih itu, menunjuk ke arah Ana.
Apalagi ini? Mendongak, Ana tersenyum manis pada kekasih gelap suaminya, "Mbak bisa bikin sendiri kalau mau."
"Kamu berani membantah?!" hardik Rena. Tangan wanita bertubuh tinggi bak supermodel itu, terkepal erat di sisi tubuh. Belum selesai kekesalannya karena penjelasan Arjuna kemarin, kini dia harus dibuat jengkel dengan ulah pembantu yang sudah naik kasta menjadi majikan. Berliana Ayunda.
Sementara itu masih mempertahankan senyum manisnya, Ana menatap lurus wanita yang terlihat seperti ingin memakannya hidup-hidup itu. "Bukan seperti itu, tapi seperti yang semua orang tau, kemarin saya sudah resmi menikah dengan Mas Arjuna, itu berarti saya mempunyai kedudukan yang sama dengan Mbak."
"Kamu!"
"Ada apa ini?"
Lagi-lagi Ana berusaha untuk tidak memutar bola mata, melihat wanita paruh baya yang baru saja memasuki dapur dengan anggunnya. Ini masih pagi, dan dia sudah harus bermain drama? Sungguh luar biasa!
"Ini, Ma. Ana gak mau buatin aku teh lemon seperti biasanya," rengek si wanita manja itu. Lebih menyebalkannya lagi dengan tidak sopan Rena menunjuk-nunjuk Ana menggunakan telunjuk.
"Ana cepat buatkan Rena minum!" perintah Rita sambil mengibaskan rambut ke belakang.
Ana hanya bisa menghela napas sabar. Mengingat yang dia hadapi adalah orang yang lebih tua darinya. "Maaf, Mama. Saya tidak bisa. Masih banyak kerjaan lain yang mesti saya lakukan," ujar Ana dengan tersenyum manis.
Tidak jauh beda dengan anaknya, Rita langsung memandang Ana tajam, sedang wajahnya yang putih sudah merah padam.
Wanita itu berdecak keras sebelum membalas kalimat Ana, "punya hak apa kamu memanggilku mama, ha?!"
Kening Ana berkerut dalam, seolah-olah sedang berpikir keras. Setelahnya dia berkata, "lho, kemarin kata kakek saya disuruh manggil mama. Jadi tidak boleh, toh? Kalau begitu biar nanti saya bilang kakek kalau Bu Rita tidak mau saya panggil mama."
Skakmat! Dua wanita congkak itu terdiam, begitu Ana menyebut nama tetua di rumah ini. Sekaligus mantan majikan yang kini berubah status menjadi kakeknya juga.
Ana merasa menang, karena berhasil membuat ibu dan anak itu terdiam. Memang baru satu tahun dia kerja di sini, tapi selama itu beberapa hal sudah diketahuinya. Termasuk kedua wanita di depannya ini, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan Barata dan juga Arjuna.
Senyum Ana merekah sempurna, saat tiba-tiba dia melihat Arjuna berjalan ke arahnya, dan sebelum yang lain menyadari kehadiran sang suami, Ana segera berjalan menuju ke arah pria itu.
Permainan dimulai!
KAMU SEDANG MEMBACA
DINIKAHI MAJIKAN ✓ [Tamat]
RomanceArjuna menikahi Ana atas perintah sang kakek, sekaligus melindungi hubungannya dengan Rena yang merupakan saudara tirinya. Namun, siapa sangka jika ternyata wanita yang merupakan pelayan di kediamannya itu selalu berhasil membuat Arjuna darah tinggi...