Kejadian setelah kebakaran.
Di pagi hari ketika sebagaian manusia bersiap untuk keluar dari rumah, menikmati pagi atau mungkin sibuk karena pekerjaan.
Di sisi lain dunia ada pula manusia yang tidak lagi bisa menikmati paginya, karena di malam hari mereka telah mati.
Seperti enam anak laki-laki itu, yang kini berdiri menatap bangunan hangus dan hancur sepenuhnya di depan mereka, tidak ada lagi rasa sakit, hanya sedikit penyesalan, mereka juga tidak marah pada kakak tertua mereka, hanya jika saja ada lebih banyak waktu, mungkin.
Tapi tidak ada lagi mungkin, sudah terjadi dan waktu tidak dapat diputar kembali ke masa lalu.
Biarkan saja seperti ini, karena penyesalan tidak menyelesaikan apapun, maka inilah takdir yang harus mereka terima.
Enam anak laki-laki yang hanya punya sedikit waktu untuk hidup, tetap berbahagia walau sebagian besar hari-hari yang mereka habiskan untuk hidup tidak begitu bahagia.
Mereka tidak pernah makan yang cukup, juga tidak punya selimut tebal untuk menghangatkan ketika udara di musim dingin masuk melalui celah dinding yang berlubang, jika saja mereka bisa merasakannya untuk sehari selama hidup, mungkin sudah lebih dari cukup.
Anak-anak ini tidak malang, hanya kurang beruntung, di kehidupan ini, mungkin tidak ada banyak kebahagiaan, tapi di kehidupan selanjutnya, hanya tentang harapan dan waktu.
Mereka bisa menunggu, juga untuk kakak tertua, mereka hanya berharap dia hidup dengan aman dan damai, bersama orang tua dan rumah yang selalu ia inginkan, karena hanya dia sendiri yang selamat dari tragedi itu, jadi mereka berharap bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi mereka salah.
Malam itu, ketika api hampir menghanguskan seluruh bangunan panti asuhan, pemadam kebakaran akhirnya sampai, memadamkan api yang berkobar, hingga ketika api padam seluruhnya, para petugas berusaha mengevakuasi para korban, dan betapa terkejutnya mereka ketika menemukan seorang anak berusia sebelas tahun, berbaring lemah di lantai berair, sambil menggenggam tangan anak lain yang sudah tidak bernyawa.
Anak itu masih bernapas, jantungnya masih berdetak, namun menolak melepaskan tangan anak lain yang sudah mati, butuh waktu lama, sampai ketika jasad lima anak lainnya berhasil dievakuasi, barulah anak laki-laki itu mau melepaskan tangan anak laki-laki yang lain.
Heeseung adalah anak laki-laki yang selamat itu, seminggu setelah perawatan dia akhirnya mau berbicara ketika diinterogasi oleh polisi, namun Heeseung tidak mengatakan yang sebenarnya, tidak ada pembunuhan dalam pernyataannya, juga tentang bagaimana cara adik-adiknya mati.
Dia ingin melupakan kejadian malam itu, namun ingatan itu selalu melekat di kepalanya, penyiksaan terus berlanjut walau luka bakar di tubuhnya mulai sembuh namun luka di jiwanya tidak kunjung membaik.
Setahun kemudian Heeseung diadopsi oleh sepasang suami istri yang sudah lama mendambakan seorang anak, dia akhirnya mendapatkan rumah yang hangat dan orang tua penyayang, seperti yang ia inginkan.
Tapi apakah akhirnya kisah ini berakhir dengan bahagia? Tidak, hingga tujuh tahun berlalu, tepat pada tanggal 30 November, tujuh tahun setelah malam kebakaran itu, orang tua angkat Heeseung menemukan tubuhnya bergelimang darah di lantai kamar mandi yang dingin, Heeseung bunuh diri.
Tangannya yang berdarah memegang erat sepotong foto berisi tujuh anak laki-laki yang tersenyum manis di depan panti asuhan bobrok, namun senyum di wajah mereka berbanding terbalik dengan keburukan yang ada di belakang.
Senyuman itu, Heeseung begitu merindukannya, penyiksaan selama tujuh tahun atas penebusan dosa yang tidak kunjung habis, akibat dari pembunuhan dan kepergian adik-adiknya, Heeseung sama sekali tidak pernah memaafkan dirinya sendiri.
Namun usaha bunuh diri itu tidak merenggut nyawanya, Heeseung segera dilarikan ke rumah sakit, tepat setelah orang tuanya menemukannya.
Karena kehabisan banyak darah, Heeseung dinyatakan berada dalam kondisi vegetatif oleh dokter, dia tidak dalam kondisi sadar, sampai sebulan kemudian Heeseung terbangun tanpa peringatan, berlinang air mata lalu berteriak histeris, mencabuti selang di pergelangan tangannya, bahkan hampir melukai dirinya sendiri lagi.
Mimpi indah itu benar-benar lenyap sedetik setelah dia terbangun, membuat dadanya sesak, memikirkan bagaimana adik-adiknya harus pergi ke tempat yang tidak mereka inginkan, rumah yang dia bangun di alam bawah sadarnya tidak akan pernah menjadi nyata, dan tempat untuk pulang tidak akan pernah ada.
"Maafkan aku," Begitu ucap Heeseung, menangis dipelukan ibu angkatnya.
Sekali lagi, penderita atas kesalahan harus ditanggung oleh Heeseung, bahkan ketika ia ingin mati, dunia ini tidak membiarkannya.
Mungkin ini adalah cara Tuhan menghukumnya, membiarkan jiwa yang rapuh itu hancur perlahan, hingga bekas dari luka-luka di masa lalu tidak lagi dapat diobati.
"Tunggu aku sebentar lagi, aku akan segera menyusul kalian." Heeseung berbaring telentang, menatap langit-langit putih rumah sakit, bau disinfektan sangat menganggu penciumannya, jadi dia memilih untuk memejamkan mata, dengan air mata yang menggenang di sudut matanya.
***
"Hyung bahkan jika kau tidak kembali, kami tidak akan membencimu."—Jay.
"Hidup saja dengan damai, kami menyanyangimu, jangan terlalu cepat menyusul kami."—Jake.
"Aku tidak pernah menyalahkanmu hyung, hiduplah sebagai manusia yang baik."—Sunghoon.
"Kami akan merindukanmu, tapi kami lebih ingin kau hidup bahagia Hyung."—Jungwon.
"Hyung berbahagialah, kami akan menunggu."—Ni-Ki
"Hyung, kali ini hiduplah bukan hanya untukmu tapi untuk kami juga, kami masih berada di tempat yang sama, Hyung saat kau siap, kita akan pergi bersama."—Sunoo.
***
"Di kehidupan selanjutnya jika kita punya kesempatan, ayo hidup sebagai keluarga yang memiliki rumah sebagai tempat pulang."—Heeseung.
The End.
I Will do QnA
Lempar pertanyaan kalian di kolom komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] Kembali [ENHYPEN]
FanfictionDari sebuah perjalanan yang tidak kunjung usai, kebohongan disertai kekecewaan, hingga pada akhirnya mereka hanya diberi satu pilihan. Kisah dari tujuh remaja yang menentang takdir demi menemukan tempat pulang yang disebut rumah. A short story