Kepada dua raga yang pernah memeluk semesta bersama. Kepada dua hati yang pernah mengikat janji untuk tidak saling membenci hingga waktu berhasil membunuh sepi pada tiap-tiap hati yang pernah tersakiti. Aku menyadari, bahwa di antara kita memang seharusnya pergi. Seluruh janji yang kau ucapkan untuk tidak meninggalkan telah sirna tertelan masa. Kau ingkari, kau khianati dan kau melukai.
Atau akulah yang sebenarnya bersalah? Atau justu kita sama-sama telah menumbuhkan luka? Kurasa tidak. Mungkin kita tak pernah sengaja mengikat janji untuk tidak saling meningalkan dalam keadaan apapun. Mungkin kita sama-sama tak inginkan ada rasa kecewa pada akhir sebuah kisah yang hingga kini belum di mulai. Kisahku dan kisahmu adalah rasa yang terpenjara dalam sepi-sepi yang masih enggan untuk di biarkan berlalu.
Nyatanya, kaupun masih merasakan rindu yang kauharapkan berakhir temu untuk beberapa waktu yang kini telah tak tahu ada di mana. Rasamu kini perlahan memudar, Ataukah aku yang sebenarnya masih belum sadar? Bahwa aku dan kau tak akan sanggup memeluk luka yang tersayat oleh diri sendiri. Aku inginkan kau melangkah pergi dan berlalu menemui kisah yang baru. Tidak denganku yang tak pernah bisa nyata dalam sebuah rasa. Aku selalu menempatkan diri pada sepi yang selalu kuanggap suci. Dan kau masih saja mendekatiku dengan seluruh kata yang kuanggap hanya sebuah janji basi. Tidak, tidak! Jangan pernah berkata bahwa aku sengaja bersikap begini agar kau membenci. Aku dan kau adalah dua raga yang sama-sama pernah terluka. Lukaku tertanam lebih dalam dan begitu lama dan begitupun lukamu yang mungkin saja masih menganga.
Ada kata yang telah kubunuh dan kubakar hingga tak tersisa. Ada rasa yang kini kau tenggelamkan pada lautan pilu terdalam. Aku dan kau sama-sama tersakiti oleh kata dan rasa yang kita ucapkan sendiri. Kau tak lagi mengisi ruang-ruang hening pada jantung puisi yang perlahan mati. Kau telah hilang dari lembaran-lembaran aksara yang selalu kusematkan pada setiap rasa. Aku adalah luka itu sendiri dan kau tahu? Aku adalah jiwa yang telah berdamai dengan seluruh duka. Bagiku, ketiadaanmu tak akan berarti apa-apa. Bahkan kehadiranku pun tak akan lagi bermakna dan berharga. Kau tahu, bahwa semua rasa yang telah berlalu kini tak akan kembali seperti dulu. Seharusnya aku dan kau tak pernah bertemu agar kau tak akan terluka oleh diriku. Kau selalu berkata bahwa akulah merpati putih yang suci. Kau salah ! Aku adalah duri yang tanpa sengaja melukaimu dengan cinta.
Ceritaku yang pernah kau dengar, air mataku yang pernah berlinang telah membuatmu menjatuhkan perasaan. Hingga akhirnya hanya kekecewaan yang kaudapatkan. Kau selalu berkata bahwa kau siap menunggu! Menungguku yang masih enggan untuk menyatu denganmu. Biarkan kisah ini habis sebelum terlukis pada lembaran waktu yang sempat menumbuhkan rindu. Kau tersayat, aku terjerat. Kau merindu, aku menahan pilu. Kau merasa dan akulah yang merana! Kau tahu, aku dan kau tak pernah bisa bersama. Kau menjeratku dengan rasa dan aku membunuhmu dengan seketika. Kau suarakan rindumu dan aku menutup semua ruang agar kau tak dapat menujuku yang hanya diam membisu. Kau merasakan seluruh rasa dan aku membiarkan diriku merana oleh luka-luka yang tak mampu untukku hapuskan. Segeralah beranjak agar hatimu tak berubah retak. Segeralah berlalu agar hatimu tak membeku. Bukan kau yang tak pantas untukku tetapi akulah yang memilihmu untuk tidak bersamaku.
Ada cahaya yang mengangkasa di langit-langit pengharapan. Pengobat segala kecewa akibat rasa yang tak pernah terbalaskan. Kau tahu dia siapa? Dia adalah nuranimu sendiri. Dia yang telah mampu menerima apapun perihal kehilangan-kehilangan yang tak seharusnya kau sesali. Kau harusnya sadar! Bahwa yang pergi memang tidak untuk kembali. Dan yang bersama pun tidak selamanya akan menemanimu hingga menua. Hakikat rasa memang begitu dan kau harus tahu itu. Kelak, pada akhirnya kau akan menyadari bahwa aku memang sepantasnya hanya menjadi seorang teman dalam hidupmu. Teman yang sebenarnya teman dan bukan pasangan hidup. Lupakan sejenak perihal kisah yang usai sebelum di mulai. Kini aku akan bercerita mengenai dua pasang raga yang saling terpana oleh aksara.
Suatu ketika, aku pernah menemukan seorang penikmat kata yang jatuh cinta pada seorang perangkai aksara. Ia berusaha menuliskan apa saja tentang apapun yang sedang di rasa. Hingga tercipta sebuah puisi yang akan di suarakan dan di tunjukkan padanya. Saat aku bertanya akan sesuatu padanya . Kau tahu, apa jawabannya padaku? Dia berkata, tuliskan semua hal yang kau rasakan maka kau akan temukan kebahagiaan. Karena bahagia itu hanya tentang tawa dan bersedih tidak hanya tentang menangis. Ada gelisah yang buncah menjadi puing-puing asmara paling nyata pun ada resah yang pecah berujung ilusi tak bertepi. Ada cinta yang hanya memberi luka dan adapula cinta yang berujung bahagia walau tak selalu bersama.
Mengagumkan, sangat mengagumkan. Aku lebih mencintai aksaraku daripada kau. Aku lebih merindukan aksara daripada engkau dan aku begitu terluka saat aksara memainkan cintanya pada jiwaku. Dan kau harus tahu itu. Bahwa aksara itu adalah dirimu. Dirimu siapa? Entahlah, akupun tak pernah tahu engkau siapa. Siapa yang saat ini kutuliskan dan siapa yang saat ini kuceritakan aku tak tahu. Aku menulis kehilangan dengan penuh kesakitan yang tak tahu harus kutujukan kepada siapa. Aku menuliskan bahagia yang terlampau bahagia dan entah untuk siapa tulisan ini akan bernada. Nada-nada aksaraku telah memainkan seluruh imajinasiku dengan begitu banyak peluh. Keluhkesah yang berada di dalamnya tak pernah membuatku jengah walau terkadang lelah tetapi aku tak pernah merasa kalah.
Kukatakan, kekalahan bukanlah suatu kelemahan yang harus kau ratapi. Aku pernah hancur sehancur-hancurnya dan kukira ia telah dengan sengaja hadir untuk menghancurkanku. Tetapi aku salah ! Aku telah kalah oleh diriku sendiri. Bagaimana tidak? Aku selalu mampu menguatkan siapapun yang sedang terluka. Kubangkitkan semangatnya yang pernah hilang, kupeluk mereka dengan kasihsayang yang bermaksud memberi pengertian bahwa kecewa bukanlah satu rasa yang harus kau simpan dalam benak selama-lamanya. Tetapi aku? Aku justru terkadang memendam amarah dalam jiwa terdalam. Aku hanya terdiam tetapi nuraniku telah berbincang dan menciptakan rasa pada aksara yang akan terbaca oleh siapa saja bahwa aku pernah terluka.
Seperti saat ini, saat seorang teman berkata mengapa hanya luka yang kukeluhkan. Bahwa aku adalah luka itu sendiri dan bagaimana kau akan mengerti dengan lika liku luka pada semesta yang senang bercanda jika kau tak pernah mengerti akan diriku. Dia hanya menjawab bahwa aku berhak untuk bahagia dan ia peduli akan bahagiaku. Padahal, luka dan bahagia yang mana lagi yang ia bicarakan? Ia tak tahu bahwa semua itu adalah permainan rasa. Sudah kukatakan bahwa bahagia tidak hanya dengan tawa dan menangis tidak hanya perihal sedih. Seperti kebodohan dengan tetap menuliskan semua hal perihal romansa yang pada dasarnya tak pernah bermuara. Kepada kesempatan yang lagi lagi mempertemukan kita dalam ruang tanpa rupa.
Kita telah tiada. Kau boleh berkata tetapi tak berhak melarangku untuk tetap bersuara. Kau boleh bersuara tetapi tak berhak melarangku untuk tetap bernada. Kau mungkin adalah rasa yang sempat terpenjara tetapi aku ? Aku adalah kehadiran yang tak pernah kau anggap ada. Dan kita sejatinya adalah bersama yang telah lama tiada. Tidak untuk asa, suara maupun aksara. Kau tak akan menemui dirimu dalam setiap puisiku. Kau tak akan hadir lagi dalam setiap aksara yang tercipta. Aku tak akan lagi memanggilmu dengan nama yang sama. Nama yang pernah diam-diam kau sematkan dalam diri aksara lalu kau bunuh dengan murka. Karena kau telah tiada; bersama hati yang sudah kaupatahkan.
Dalam cerita yang menyata aku kembali bersuara setelah terkunci dalam ruang tak bergema dalam waktu yang cukup lama. Aku telah kembali dengan perjalanan rindu yang mengharu biru kepada seseorang yang telah berlalu. Tak akan ada lagi cinta yang akan membuatku terlena. Kau harus tahu? Lagi lagi kau harus tahu. Aksaraku memang tak pernah menyebutmu tetapi kau selalu hidup di antara kisah yang penuh kegelisahan. Aku tak ingin lagi menyebutmu di antara celah rasaku dan aku tak ingin lagi memanggilmu dan tak akan lagi menempatkanmu dalam larik-larik puisi. Cukup sudah semua janji yang telah kau ucapkan. Sudah cukup kegelisahan dan ego menyelimuti diri.
Aku ingin beranjak, melangkah bebas tanpa apapun, tanpa perasaan gundah yang menyesakkan. Tetapi, lagi lagi kau hadir dalam mimpi-mimpiku pun dalam imajinasi yang seketika melintas. Pergilah ! Kau perlu berjalan cukup jauh agar kau mengerti bahwa aku tak pernah pergi. Aku masih di sini, mengenang semua janji-janji yang pernah terpatri. Bahkan, engkau memilih diam dan tak lagi menyapa. Bahkan, engkau memilih beranjak pergi dan meninggalkanku berteman sepi.
Salahku, karena aku menganggap bahwa kau ada dan salahku karena menganggapmu nyata. Nyatanya engkau adalah rasa yang terpenjara dalam aksara. Tak akan menyata bahkan untuk sekadar memeluk raga pun tak akan bisa. Dan kini, ada detak yang melagu dalam setiap ratap. Ada gelisah seiring nada-nada sendu yang berirama. Aku terbuang, aku tertikam lalu tenggelam dalam ruang bernama kenangan yang kini kau lupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI RASA
General FictionIni adalah sebuah catatan panjang yang tak akan pernah selesai kutuliskan. Awalnya, ragu untuk kubagikan dan sempat berpikir untuk tak di perlihatkan. Namun, seseorang berkata padaku bahwa sudah seharusnya aku kembali. Sudah cukup berada dalam lamu...