“Bagaimana mungkin aku memaksa pulang, sedang aku sudah jelas tidak pantas untuk berpulang”.
Seseorang pernah mengatakan sesuatu padaku, bahwa dalam hidup kita akan dipertemukan dengan banyak hal. Mulai dari pilihan hingga keadaan yang tak bisa kita tolak. Sementara aku masih takut untuk berharap. Takut untuk meminta sesuatu pada Tuhan. Tetapi, sejak semalam aku memberanikan diri untuk meminta Tuhan untuk menyisakan satu orang yang setidaknya masih sudi menerimaku saat nantinya dibenci semua orang. Aku hanya inginkan satu orang yang masih mempercayai bahwa perempuan ini masih memiliki hati. Aku inginkan satu orang yang tetap ada di sampingku untuk melewati semuanya. Aku hanya inginkan satu orang yang mau tetap tinggal saat semua orang lebih memilih meninggalkanku sendirian. Aku hanya inginkan satu orang saja, tapi sepertinya Tuhan tak mendengarnya. Lalu, kemana lagi aku akan pulang? Jika tak ada satu pun orang yang percaya bahwa aku ini juga punya alasan. Dan sampai kapan pun, perempuan akan selalu di salahkan hanya karena ia lebih memilih diam daripada membela diri. Saat semua orang menyudutkanku sudah tidak ada lagi yang bisa di ucapkan. Sebab semua ucapan sia-sia. Jika lukamu hanya satu, lukaku jauh lebih besar. Sebab sepanjang hidup, perempuan ini akan selalu menelan air matanya sendiri.
Belum sampai di hari paling tak diinginkan semua orang itu tiba, tapi semua orang justru sudah memberiku doa tak baik. Belum sempat aku membuka suara mengapa pada akhirnya aku hanya mematung. Diam di kursi reyot dengan tatapan kosong. Telingaku rasanya ingin murka mendengar ocehan yang katanya nasihat itu. Manusia sudah pasti berbuat salah, aku akui itu. Tetapi aku dengan sengaja membuat kesalahan agar terlepas. Aku tahu, aku bersalah. Aku tahu caraku salah. Seharusnya memang tak seperti ini tapi apa yang bisa aku lakukan? Sedari kecil aku hanya melihat Bapak dan Ibu saling caci. Aku menjadi korban mereka. Menjadi manusia yang memiliki kebencian di hatinya. Ingin rasanya merusak hidup kalian juga, agar kalian tahu rasanya menjadi aku yang tak berdaya. Tapi aku justru menghancurkan hidupku sendiri. Apapun yang terjadi sekarang adalah buah dari apa yang kalian berikan padaku. Bagaimana caraku menjelaskan bahwa aku mempunyai alasan yang tak bisa kuucapkan.
Dan kau, kau memang adalah pria terdingin yang pernah ada di hidupku sekaligus penyebab hancurnya harapanku. Aku menyesal pernah setuju untuk berjalan bersama hanya karena demi kebahagiaan satu orang. Aku lupa, bahwa aku juga berhak bahagia. Saat itu usiaku masih sangat muda, aku tak punya pilihan apapun selain menerima. Selama 24 tahun aku harus menyaksikan jiwaku terpenggal. Menyaksikan air mataku hilang. Menyaksikan semangatku padam. Menyaksikan doa-doa buruk itu mendekat padaku. Tak ada doa baik sedikit pun. Kemana aku akan pulang? Kepada Tuhan? Ah, aku rasa bahkan Ia tak sudi mendengarku berdoa. Malam itu, aku sudah bersujud padaNya. Aku meminta jalan tapi Ia malah memberiku jalan buntu. Saat aku mencoba berani, justru Tuhan mengunciku untuk tak mengatakan apapun di depan mereka. Tuhan tahu itu, kan? Bahkan saat kalimat tak pantas itu mereka ucapkan padaku, setetes air mataku pun tak mampu turun.
Dunia rasanya seperti berhenti saat itu juga. Aku berbicara dengan hatiku. Apakah ini keputusan yang benar atau ini salah? Jika tetap bertahan dan melanjutkan apakah semuanya dapat diubah? Namun jika ini keputusan yang terbaik, mengapa tak ada satu pun yang membelaku? Aku justru dibenci. Aku ditinggalkan seorang diri. Aku adalah perempuan bodoh. Apakah dulu Bapak sekejam itu? Sampai mereka berkata kalau aku sepertimu. Apakah Bapak selalu menjawab saat sedang bertengkar? Apakah Bapak sama sekali tak bisa diam? Pak, rasanya aku ingin mati saja. Mengapa aku terlahir sebagai perempuan? Mengapa aku tak terlahir sebagai pria saja? Pria selalu kuat, kan? Bahkan dalam situasi terburuk dalam hidupnya, ia masih bisa melanjutkan hidup. Telinga dan hati para pria terlalu kebal. Sementara aku? Aku hanya seorang perempuan. Hatiku tak sekuat itu, Pak. Mana sanggup anakmu ini menerima cibiran? Bagaimana caranya menghadapi orang-orang yang bisanya hanya menghakimi itu? Mengapa saat Bapak meninggalkanku tak mengucapkan bahwa aku harus menjadi perempuan yang berani. Bapak tak menginginkanku saat itu. Pun kini begitu, Pak. Bahkan, dunia tak menginginkan keberadaanku. Kemana lagi aku akan pulang?
Mungkin, ke dalam diri sendiri yang selalu dipaksa untuk mengasingkan diri. Tetapi, apakah masih pantas untuk kusebut rumah? Entah seperti apa hidupku, nyatanya diri sendiri yang selalu setia untuk menyambut. Dan saat aku begitu terpuruk, pertanyaan di kepalaku muncul tak beraturan. Aku kembali menyalahkan Tuhan, seakan deritaku adalah yang paling pilu meski aku tahu bahwa setiap manusia memiliki ujian sesuai porsinya. Dan saat itu, seseorang mengetuk hatiku dengan ucapannya “Karena kamu mampu, dan akan naik kelas ketika berhasil melampauinya”. Dunia seakan kembali dan tubuhku memiliki kekuatan untuk terus berjalan dan yakin bahwa ini semua karena kasih sayangNya. Meskipun sulit, seperti ingin menyerah saja tapi tidak. Tidak untuk saat ini atau untuk hari-hari yang akan datang. Perjalananku masih panjang dan kebahagiaan itu tentu masih milikku.
Dan setelah cukup lama aku menahan, aku mengingat seseorang. Ya, cukup lama aku memendam, aku memutuskan untuk bercerita kepada seseorang yang lainnya dengan banjir air mata. Dia menerimaku dengan penuh suka cita. Dia berkata, “Ingin sekali aku memelukmu, Nak. Ternyata selama ini diammu karena memendam sesuatu yang sangat menyakitkan. Kamu menjauhi semua orang. Mereka menanyakan kabarmu setiap waktu tapi kamu seolah tak mau tahu. Kamu harus mengerti ini. Saat semua orang mengira kamu sibuk dengan beberapa hal tapi aku mengerti bahwa kamu memiliki masalah yang membuatmu menjadi seperti ini. Kemarilah! Kedua tanganku menyambutmu dengan penuh cinta. Jangan pernah takut. Jangan pernah meneteskan air mata lagi. Kamu wanita hebat, wanita kuat. Percayalah! Suatu saat nanti kamu akan bangga dengan keputusan yang kamu ambil saat ini. Dan ingatlah, tak ada hal apapun yang sulit jika kamu menjalaninya dengan ikhlas. Percayalah!”
Bagaimana mungkin aku tak menangis setelah mendengar kalimat itu dari kalian berdua? Aku ingin sekali menyerah. Tapi, mungkin inilah hidup. Tak semua hal bisa diceritakan dengan mudah. Tak semua masalah bisa diselesaikan dengan cepat. Seharusnya aku menikmati proses ini karena Tuhan mengajariku banyak hal. Bukan malah meratapi ini semua dan menganggapnya takdir. Seharusnya aku percaya bahwa diri ini mampu melewati semuanya. Untuk apa membuatnya bahagia dengan air mata di mana-mana? Sekalipun diri sendiri selalu menyalahkan keadaan, dirinya di sisi lain sedang menertawakan. Sungguh, hidup selalu penuh kejutan yang sangat menakjubkan. Dan untuk kesekian kalinya, aku menyadari bahwa sudah selayaknya aku bersyukur dengan apa yang telah terjadi. Meskipun menyakitkan, meskipun begitu banyak rintangan, nyatanya masih ada beberapa orang yang masih memiliki kepercayaan bahwa hidupku masih punya warna. Dan akan selalu berwarna;
Meski demikian, aku selalu berpikir apakah aku mampu melewatinya? Di suatu waktu, hatiku selalu berkata bahwa menyerah adalah pilihan yang salah. Tapi, di sisi lain aku selalu merasa bahwa untuk berjalan sangatlah tidak mudah. Aku tetap tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Terkadang, aku ingin semua pedulian itu nyata tapi aku takut untuk menerimanya. Setidaknya, aku hanya memiliki harapan bahwa entah apapun itu, entah siapapun itu yang kelak merelakan dirinya hidup bersamaku ia sudah paham betul bahwa aku ini tidak lagi sempurna sebagai seorang perempuan. Aku tidak lagi sempurna untuk di katakan perempuan idaman;
Sebab tak ada laki-laki mana pun yang mampu menerima kepahitan ini. Aku sadar akan hal itu. Sekalipun ada, aku akan sangat berdosa. Dengan keinginanku, aku membawa seseorang untuk berjalan di jalanku. Menemaniku menerima ribuan caci. Menerima apapun yang berkaitan dengan hidupku di masa lalu. Aku hanya tak ingin, bahwa nanti ia akan terluka. Bagaimana caraku membuatnya mengerti? Bahwa perempuan ini, perempuan yang mungkin telah mencuri hatinya itu adalah seorang perempuan ideal untuk kelak menjadi pendamping hidupnya. Aku tak menampik bahwa kekurangan manusia sangatkan banyak. Sebab tak ada apapun yang sempurna kecuali Sang Pemberi Hidup itu sendiri.
Tetapi tidak, mungkin tidak seperti ini. Lagi-lagi aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Mungkin saja, semua ketakutan-ketakutan ini muncul karena aku kurang bersyukur. Aku masih meragukan apa yang Tuhan berikan padaku. Ia mengambil senyumanku, Ia membuatku jauh dari semua orang yang dulu begitu dekat denganku, Aku merasa hidupku sangat kosong, aku masih saja berkata bahwa Tuhan begitu tega. Itulah mengapa aku tak pernah tenang dengan apa yang aku dapatkan. Aku selalu meragukan hidupku sendiri. Tetapi, bukankah sudah jelas, di ambilnya senyumku agar aku lebih bisa menghargai waktu. Bahwa luka sejatinya memiliki peran untuk memperbaiki kehidupan. Di jauhkannya aku dengan orang-orang yang kuanggap sangat dekat denganku agar aku lebih sadar. Bahwa tak ada seorang pun yang bisa melihat isi hati. Jika memang mereka adalah yang terbaik sudah jelas Ia tak mungkin menjauhkannya. Jika di dekatkan dengan seseorang seharusnya aku lebih berhati-hati. Bahwa yang menyayangi kita saat ini suatu saat adalah penyebab kesedihan kita di kemudian hari. Dan mungkin saja, seseorang yang kita anggap sangat menyakiti adalah seseorang yang akan membantu kita untuk bangkit dan menjadi alasan atas kebahagiaan kita nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI RASA
General FictionIni adalah sebuah catatan panjang yang tak akan pernah selesai kutuliskan. Awalnya, ragu untuk kubagikan dan sempat berpikir untuk tak di perlihatkan. Namun, seseorang berkata padaku bahwa sudah seharusnya aku kembali. Sudah cukup berada dalam lamu...