UNTUK LELAH YANG MENYERAH PADA TENGADAH

16 3 0
                                    

Entah mengapa, malam ini putaran waktu seakan terhenti. Sayup-sayup langkah mendadak terjebak di antara rimbunan kerikil kecil yang menusuk seketika. Di malam ini, di tahun yang ke kesekian, semua terlihat sama tanpa siapapun. Kutelusuri setiap lekuk celah yang dilalui Sang Cahaya. Dan anehnya, murkaku kembali memuncak dengan entah sebab apa aku meninggalkan semuanya. Kutanggalkan harapan yang sempat kulukiskan dengan begitu banyak warna di dalamnya. Kau tahu, mahkotaku berguguran lagi, lebih banyak dari sebelumnya.

   Ada yang mengalir perlahan dari rongga-rongga yang pengap oleh sebuah pengharapan yang  harus dikuburkan. Kututup rapat-rapat, namun gemanya justru semakin nyaring terdengar. Bukan semesta yang bergemuruh akan rindunya. Bukan pula pertemuan hujan untuk tanah yang melagukan irama jumpa. Tetapi, pergumulan embun di pelupuklah yang kini memenuhi seisi semesta. Seakan ada badai yang begitu ganasnya, memporak-porandakan segalanya. Menghancurkan semua yang telah kutanam dengan begitu banyak perjuangan. Harus kurelakan, kini itu semua menghilang.

   Di hari ini, atau lebih tepatnya di masa saat dengan leluasa kuperdengarkan sebuah jeritan yang begitu menyayat. Kepada seseorang yang begitu sabarnya mendengarkan tangisan dari seorang gadis yang kehilangan tujuan hidup. Akan kuperkenalkan, dia adalah “ Sinichi” begitulah aku memanggilnya saat ini. Saat selarik puisi kutuliskan, dia berkata padaku bahwa telah terjadi sesuatu. Yang pada dasarnya itu adalah sebuah kebenaran yang tak ingin kubenarkan. Seketika kehancuran menyelimutiku, seakan dunia seperti mengutukku. Ribuan menit, jutaan detik harus kulalui dengan lebamnya hati dan pikiranku.

   Aku ingin bercerita, kembali bercerita dengan seseorang yang dengan relanya sudi kuanggap sebagai Ayah. Dia, adalah orang pertama yang mengetahui sebuah rahasia besar di dalam hidupku. Dia, adalah orang pertama yang mendengarkan semua keluh dengan seucap kata bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah sebuah titipan. Jadi, sudah seharusnya kita tak memperdebatkan apa yang telah terjadi. Mau ditolak seperti apapun jika takdirmu telah bergaris pada jejak kehilangan maka akan tetap seperti itu begitupun sebaliknya.

    Jika saja, waktu itu aku memberanikan diri untuk menjabat erat jemari kokohnya, jika saja aku berani menatap matanya dan jika saja sebuah temu kusetujui, mungkin pelukan hangat akan kurasakan. Namun, ketakutan selalu menjadi juaranya. Aku menolak segala kebaikan, uluran tangan, telinga-telinga yang tulus dan sebuah cinta yang hadir melalui kata yang begitu penuh makna. Aku menyesal, telah dengan sengaja membiarkan teka-teki itu beradu. Hingga menempatkan aku dalam rindu yang hanya tersembuhkan oleh ucapanmu yang mampu meredam tangisku.

  Di malam yang berkabutkan resah yang lagi lagi memeluk tubuh ini dengan kuatnya. Sebuah lelah yang ingin sekali kupatahkan, ingin sekali kumusnahkan. Andai, kegelisahan ini tak pernah hadir atau andai saja aku tak pernah terlahir dari sebuah penolakan yang dipaksa abai dengan semua hal yang kuharapkan mampu memberikan kasih. Satu hal yang kupikirkan saat ini, jika Malaikat hadir di sekitarku akan kuajak ia berbincang. Tentang resah yang membuatku kembali kalah. Tentang lelah yang memaksaku untuk berkata menyerah.

     Tentang terserah yang memanggilku untuk lebih kidmat tengadah. Aku jengah dengan semua hal yang kulewati dengan terengah-engah. Akan ada masa, di mana suaraku tak akan pernah terdengar oleh siapapun. Di mana tak ada jejak yang tertinggal. Akan ada masa, di mana kutuju langit melalui rimbunan dedaunan yang melambai. Kurebahkan ragaku di antaranya; berpangku doa. Seucap peluh serangkai detak, sekata mata isyarat nada. Niscaya, semburat semesta kutatap dari atas sana. Akan ada saatnya nanti, kurebahkan diri di antara awan-awan yang mendayu. Menyentuh anila dengan segenap rasa. Lalu, aku memejam untuk selamanya

   Suatu saat nanti, jika aku tiada. Siapa yang akan mengenang semua kejahilan yang pernah kulakukan dengan tangis dan amarah yang sama. Akankah, ada yang merindukanku nantinya? Akankah, semua yang kutuliskan saat ini masih terbaca oleh mata-mata yang pernah mengabaikanku? Akankah, hilangku mampu membuat kalian mengerti atau justru tak sedikitpun peduli? Adakah yang masih mengingatku? Huft, bodoh memang! Mengapa aku membayangkan jika tubuh ini membaring dalam tumpukan tanah dengan wewangian ribuan bunga di atasnya. Dengan doa-doa yang entah itu bermakna kehilangan atau sebuah kemenangan. Bahwa apa yang meresahkan kini telah tiada dengan entah banyaknya kecewa atau luka-luka yang diderita. Sebuah pelukan, begitu nampak dipaksakan untuk merengkuh sebuah papan bertuliskan namaku.

ELEGI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang