Pada akhirnya, penolakan itu berhasil membuatnya makin penasaran.
***
Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Raka tidak langsung beranjak dari tempat duduk. Sementara, semua temannya telah berhamburan keluar kelas, kecuali Beno dan Dito.
Raka tampak mengetuk-ngetukan jari telunjuk di atas meja, menatap datar ke sembarang arah. Tentu sikapnya bukan tanpa alasan. Ada hal yang memang sedang mengganggu pikirannya saat ini.
Rana. Gadis yang hampir 24 jam selalu menjadi objek imajinasinya.
Ucapan Rana kemarin, cukup memberikan tamparan keras bagi Raka. Baru kali ini ada gadis yang berani mengatainya tidak gentle, bahkan menolak "Salam" dari pemuda tampan yang populer sepertinya. Dia masih ingat bagaimana Ryan, Dito dan Beno tertawa mengejeknya karena hal itu. Akh, sungguh memalukan sekali, pikirnya.
Akan tetapi, itu tak membuat Raka menyerah begitu saja. Justru sebaliknya. Dia makin penasaran akan sosok Rana yang baru dikenal sehari yang lalu.
Mungkin ini terlalu dini untuk mengenal lebih dekat gadis itu. Namun, hatinya seolah-olah sudah tidak sabar ingin mengetahui sosok Rana yang sebenarnya. Gadis yang berani menolak, dan bahkan tidak tertarik untuk meliriknya. Walau bagaimana pun, dia harus berhasil membuat Rana jatuh hati kepadanya.
"Ka, ke kantin, yuk!"
Ajakan Dito kali ini membuat Raka menoleh ke belakang, lalu berpikir beberapa saat.
"Nanti gue nyusul, deh," jawab Raka menolak. Padahal, cacing di perutnya sudah berdemo minta asupan gizi.
Nyatanya urusan Rana jauh lebih penting ketimbang perutnya yang lapar.
"Lo yakin, gak mau makan?" Dito menatap serius wajah Raka. "Lapar di jam pelajaran, baru tahu rasa lo!" ucapnya seraya bangkit dari tempat duduk, lalu beranjak menuju pintu kelas yang masih terbuka lebar.
Sementara itu, Raka memfokuskan kembali pandangannya ke depan.
Sebagaimana Dito, Beno pun bangkit dari tempat duduknya. Namun, sebelum beranjak dari tempat itu, dia memberi tepukan kuat di punggung Raka, sehingga membuat pemuda itu mengaduh.
"Auuww! Apaan, sih, lo?" Raka terbelalak menatap Beno. Namun, seketika dia menurunkan tatapan saat Beno memperlihatkan layar ponsel ke hadapannya.
"Rana lagi di kantin sama Ryan, lo yakin mau tetap di sini?" ucap Beno memberi tahu. Entah dari mana dia mendapatkan foto Rana bersama Ryan saat itu.
Tanpa menunggu dikomandoi lagi, Raka segera bangkit, lalu bergegas mengikuti Dito dan Beno yang sudah terlebih dahulu melangkahkan kaki. "Gue ikut, Woii!" teriaknya kemudian.
Raka tidak mungkin melewatkan kesempatan itu. Dia pikir, memanfaatkan Ryan untuk mendekati Rana akan menjadi ide paling brilian untuknya. Bodoh sekali! Kenapa baru kepikiran kali ini, batinnya mulai mengumpat.
"Bagaimana pun caranya, pokoknya kalian harus bantu gue kali ini!" bisik Raka seraya merangkulkan tangan pada pundak Beno dan Dito yang kini tengah berjalan mengapitnya.
"Bantu apaan?" Dito menoleh, menatap penuh tanya. Tampaknya dia masih belum paham ke mana arah pembicaraan Raka.
"Astaga ... lo gak paham, Dit?" Beno menanggapi pertanyaan Dito. "Itu, lho, Rana," ucapnya memberi tahu.
"Lo yakin mau ngejar dia? Belum cukup penolakan dia kemarin?" Aksi Dito yang tiba-tiba menghalangi jalan, membuat Raka dan Beno terhenti.
Raka menurunkan sebelah tangan yang masih merangkul di bahu Beno. "Habis gimana? Dia bikin gue penasaran, sih," jawabnya santai, tanpa ada beban sedikit pun.
"Terus Lala gimana?" Dito menatap Raka penuh selidik.
Raka melirik ke arah Dito, saat mendengar nama kekasihnya disebut.
"Jangan pernah sebut nama dia di depan Rana, juga sebaliknya!" ucapnya memberi peringatan kepada Dito.
Lala, siswi kelas XI-3 IPS yang sudah dua bulan ini resmi menjadi kekasih Raka. Namun, setelah kemunculan Rana di sekolah itu, tampaknya membuat Raka lupa akan sosok kekasihnya itu.
"Kalau dia tahu sendiri gimana? Secara satu sekolah gitu!" balas Dito.
"Biarin aja dia tahu sendiri, emangnya kenapa?" jawab Raka tanpa peduli.
"Lo kayak baru kenal dia kemarin sore aja," timpal Beno ikut menanggapi.
Mereka kembali melangkahkan kaki menuju kantin yang sudah tidak jauh dari tempat itu.
Setibanya di pintu masuk, mata mereka langsung menyapu seisi kantin. Tampak Rana, Ryan dan Ucok tengah berada di meja kantin yang sama. Raka menyunggingkan senyuman, menatap ke arah mereka. Dia dan kedua sahabatnya kemudian segera menghampiri meja itu.
"Hai, Bro, tumben ke kantin gak ngajak-ngajak gue!" Raka mendaratkan tubuhnya di kursi kayu panjang, sebelah kiri Ryan.
Dia duduk berhadapan dengan Ucok. Di depan Ryan, ada Rana yang terduduk santai sambil mengaduk segelas es teh manis di depannya. Sementara itu, Beno mendaratkan tubuhnya di sebelah kiri Raka, tepatnya berhadapan dengan Dito yang duduk di sebelah kanan Ucok.
"Gue udah minta si Ucok buat chat Beno, tadi," jawab Ryan seraya melirik ke arah Raka.
"Woi, Sok sibuk banget lo!" seru Raka seraya menepuk pelan lengan Ucok yang kala itu tengah sibuk dengan ponselnya.
"Diam lo! Nyokap gue lagi resek banget, nih!" jawab Ucok tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel.
"Kenapa lagi dengan nyokap lo? Lo di suruh belanja ke pasar lagi?" tanya Raka sambil tertawa mengejek, mengingat kejadian tempo hari saat Ucok diminta ibunya untuk belanja ke pasar tradisional.
"Lebih parah dari itu! Masa gue disuruh ngantar ke dokter kandungan, yang bener aja?" Ucok mendongak menunjukkan ekspresi kesalnya. Tentu saja membuat keempat sahabatnya tertawa puas kali ini, tak terkecuali Rana yang juga ikut terkekeh.
Ibunya Ucok memang sedang mengandung calon anak ketiga. Kesibukan ayahnya bekerja, membuat Ucok yang notabene anak pertama dan anak laki-laki satu-satunya harus mengambil alih sebagian peran sang ayah. Namun, tak jarang itu menjadi bahan ledekan dari teman-temannya.
"Katanya mau jadi calon ahli surga, baru segitu aja udah ngomel. Payah lo!" ledek Beno sekenanya.
"Calon ahli surga, sih, calon ahli surga ... tapi nggak gini-gini amat kali," balas Ucok seraya meletakkan ponselnya di atas meja.
"Gak apa-apa, Cok. Jalani aja alurnya, nikmatin prosesnya, barangkali ini memang pertanda akan seperti apa nasib lo di masa depan. Ya ... itung-itung belajar buat nanti. Ha-ha-ha!" Dito ikut menanggapi dengan nada yang terkesan mengejek.
"Belajar, sih, boleh, tapi nggak harus menghabiskan waktu masa muda gue juga kali!" ketus Ucok seraya mendelik kesal ke arah Dito.
"Kapan gue bahagianya coba? Setiap kali ada rencana hangout bareng kalian, pasti gagal gara-gara nyokap. Itu masih mending! Ada yang lebih parah daripada itu. Berapa kali gue gagal jalan sama Dona, juga gara-gara nyokap. Kebayang, kan, si Dona ngambeknya kayak apa?" cerocosnya panjang lebar.
"Udah, daripada ngomel-ngomel, mendingan makan dulu, tuh, pesanan lo." Ryan menyodorkan semangkuk bakso yang berada di depan Ucok.
"Lah, kapan datangnya, nih, bakso?"
Ucok menurunkan tatapannya sambil sedikit terperangah. Bahkan, dia tidak sadar saat salah satu ibu kantin mengantarkan bakso ke meja itu.
Ryan dan Rana pun segera menikmati pesanan mereka yang sudah tersaji di atas meja.
"Wah, wah, wah ... sahabat macam apa kalian? Udah pesan duluan aja," umpat Beno.
Tanpa permisi Beno menyeruput es jeruk yang berada di depan Ucok.
"Songong lo. Main minum aja minuman gue!" Ucok merebut gelas yang hanya menyisakan setengah dari isinya.
"Yaelah, bagi dikit doang juga. Sempit kuburan lo, nanti!"
"Kalau gak ketahuan, bablas, nih, minuman gue." Ucok kemudian menyeruput minuman itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA TAK SEMANIS KURMA
Fiksi RemajaBagaimana jika hal menyakitkan yang kamu alami adalah sebuah karma karena perbuatanmu sendiri? Raka Arfian Pratama, si playboy tampan dan populer di sekolahnya, telah ditolak oleh siswi baru bernama Asyila Putri Zahrana. Hal itu membuat Raka penas...