“Luna? Haloooooo?”
Aku mendengar suara familiar disertai dengan bayang-bayang lambaian tangan di depan wajahku. Aku mengerjap dan menemukan Sherly yang annoying. Segera kutepis pelan tangannya yang tak juga berhenti melambai-lambai. “Kau sangat mengganggu,” ucapku sambil memberinya tatapan tajam.
“Jadi sedari tadi aku berbicara sendiri?” ujarnya dengan nada melankolis. Aku hanya memutar bola mataku bosan, lalu kembali menatap ke arah counter memesan makanan tadi. Namun aku tak menemukannya. Pandanganku menelusuri seluruh isi cafe ini, dan lagi-lagi sesuatu berusaha membuatku terkejut.
Sherly mengguncang-guncangkan pundakku. “Apa lagi?!” seruku yang terdengar tak santai. Well, ia memang begitu menyebalkan dan pantas mendapatkannya.
“Ugh, maaf, Lun. Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan? Kau terlihat aneh. Melamun kemudian celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.” Aku menghela napas pasrah. “Tadi aku melihat Nathan.” Ucapku.
Dan sekarang giliran Sherly yang celingak-celinguk tidak jelas, “Sekarang apa?” tanyaku.
“Diamlah. Aku sedang berusaha untuk membantumu” Apa katanya? Oh.
Aku hanya menopang daguku dengan tangan kananku sebagai tumpuannya sambil ber-huft ria. Aku sadar bahwa aku benar-benar moody.
Sherly menyenggol sikutku, aku mendongak untuk menatapnya yang sedang menunjuk pelan ke arah belakangku.
Aku menoleh dan melihat Nathan di sana, ia duduk tepat di pinggir di dekat tembok. Tidak, ia bersama seseorang. Yang kulihat, ia sedang duduk berhadapan bersama seorang.. pria? Pakaian pria itu serba hitam dan sangat berbeda dengan yang lain karena terlihat seperti warna yang mati. Lupakan. Sekali lagi kulihat, sepertinya ia sedang berada dalam pembicaraan yang serius dengan pria tersebut. Who knows? “Kira-kira, siapa orang yang sedang berbicara dengannya?” ucap Sherly pelan yang sekarang kepalanya tepat berada di sebelah wajahku.
“Aku tidak tahu.” Jawabku sekenanya. Memang aku tidak tahu. Dan seperti tiba-tiba lampu menyala di dalam otakku, aku tersenyum sumringah. “Aku punya ide!” ucapku menatap Sherly.
Ia terlihat kaget melihat reaksiku yang secara tiba-tiba. “Tidak, tidak. Simpan dalam-dalam rasa keingintahuanmu itu.”
“Aku tidak janji akan melakukannya.” Ujarku sambil mengedipkan sebelah mataku.
“Terserah. Aku tidak ikut.” Ujarnya seraya duduk kembali ke tempat duduknya. Aku menatapnya tak percaya. “Lihat saja nanti,” jawabku. “Tapi kau harus tetap mentraktirku hari ini.” Lanjutku sambil menjulurkan lidahku.
Saat aku kembali menoleh untuk melihat Nathan, aku tidak melihatnya. Meja yang tadi ia tempati sudah kosong. Bahkan sekarang seorang wanita yang berbusana sangat kurang bahan tengah mendaratkan bokongnya di kursi yang tadi ia(Nathan) duduki.
“Kau tahu, Sherly,” aku menatap Sherly yang tengah memakan makanannya dengan lahap. Ia hanya menaikan sebelah alisnya. “Mereka hilangnya cepat sekali.” Sekarang ia menatapku bingung lalu menatap ke arah belakangku kemudian beralih ke makanannya lagi.
“Well, kau akan bertemu dengannya lagi di sekolah.” Ucapnya santai.
Pernahkah aku berkata jika Sherly sedang berurusan dengan makanannya maka ia akan bersikap agak menyebalkan?
NORMAL’S POV
Seorang pemuda jangkung berdiri tepat di depan cafe itu. Pandangannya menuju ke arah sesuatu, sepertinya berada dalam cafe tersebut. Samar-samar ia melihat seorang gadis tengah menyodok-nyodokan sedotan dalam minumannya, sosoknya tak terlalu jelas karena ia melihatnya dari luar dengan kaca cafe tersebut sebagai perantaranya, namun ia tahu benar gadis yang tengah ia lihat sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shelter
FanfictionPerjalanan yang mengungkap sejumlah rahasia tentang masa lalu. Dan membawa Luna untuk melihat kebenaran. ©chancemoretz [slow updates]