sᴇᴋᴏʟᴀʜ

768 81 11
                                    


Ketika Juli telah berpamitan, lalu datanglah Agustus. Bulan penuh kemeriahan yang ditunggu kebanyakan orang, terutama para kalangan muda.

Setiap rumah wajib mengibarkan bendera merah - putih di depannya. Jalanan begitu ramai dengan hiasan warna yang penuh ketegasan serta kesucian. Saat memasuki gang, pasti gapura menjulang bak pintu masuk. Halilintar tahu persis akan hal itu.

Ibarat sebuah festival tahunan yang wajib harus ada menyambut kemerdekaan bangsa.

Mengalihkan sejenak dari topik kemeriahan bulan Agustus, kini netra rubi Halilintar terus mengamati jalanan, ia tengah menunggu angkot untuk pulang. Motornya masih dibengkel karena ulah Taufan kemarin. Setangnya sampai bengkok akibat dibawa jatuh ke parit. Sudah tahu kakinya sedang sakit tapi masih memaksakan diri mengendarai motor, jadi jatuhlah akibatnya. Terbukti bahwa Taufan ialah orang yang eyel jika diberitahu.

Halilintar melambaikan tangannya, menghentikan laju angkot.

"Pulang sekolah, Bang?" tanya seorang anak kecil. Halilintar tidak menanggapi lebih, ia hanya membalas dengan anggukan kepala dan berdeham.

"Abang enak masih bisa sekolah," celetuk pelan anak itu. Dia memajukan mulutnya bersikap merajuk.

"Kamu enggak sekolah emangnya?" Halilintar iseng bertanya balik. Berpura-pura bersikap ramah walau dalam hati sedikit risih.

Si anak menggeleng lemah. Wajahnya kembali ditekuk. Halilintar jadi merasa bersalah.

"... oke."

Masuk sekolah yang dikatakan gratis dari SPP dan uang bangunan, namun tidak bebas untuk bayar seragam serta segala alat tulisnya. Masih ada saja anak yang putus sekolah lantaran tidak memiliki cukup biaya.

Bahkan tidak jarang setelah lulus sekolah dasar tidak melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sungguh ironis sekali.

Walau begitu sekolah juga tidak sebegitu menyenangkan dan didambakan seperti anak yang di angkot kala itu. Salah satunya ialah tugas yang tidak tanggung-tanggung. Pengerjaan waktu pengumpulan yang sangat sebentar.

Mari Halilintar tunjukkan seberapa menjengkelkannya saat tugas yang susah ia kerjakan menghilang karena ulah temanmu-

.

.

.

Suhu dingin dari es jeruk tak mempan untuk mendinginkan kepala pemuda dengan netra rubi- Halilintar. Tugas esai Sejarah sepanjang dua lembar folio yang semalaman suntuk ia kerjakan sudah raib setelah dipinjam oleh (Name).

"Sumpah, Lin, bukan aku yang gilangin." (Name) membela diri. Merendahkan diri dengan berlutut sambil membuat pose peace (dua jari telunjuk dan tengah).

Tatapan Halilintar tak kunjung melunak. "'Kan terakhir kamu yang pegang, tanggung jawablah."

Secarik kertas tanpa isi pasti Halilintar tak 'kan mempersalahkannya, nah ini PR yang nanti jam pelajaran terakhir harus dikumpulkan. Mana gurunya tidak toleran masalah tugas.

"Ya udah tulis ulang. Kamu yang tulis," titah Halilintar mutlak. "Usahakan tulisannya mirip denganku. Aku tidak mau kena hukum Pak Didin kalau sampai beliau curiga."

(Name) menelan ludah. Diam-diam ia memegang tangannya, bayangan tangan yang dipatahkan oleh Halilintar melintas di benak sang gadis. Secara pemuda itu jawaranya pencak silat.

"O-oke.. ta-tapi jangan... jangan salahin aku kalau tulisanku tidak rapi!"

Satu dehaman singkat sebagai tanda setuju Halilintar. Segera saja (Name) mengibrit ke koperasi beli kertas folio lalu menulis kembali esai itu dari haksil salinannya tadi pagi.

(Name) sudah yakin kertas itu sudah ia taruh dengan benar di meja Halilintar. Lalu bagaimana bisa menghilang semudah itu?

'Ah, bomatlah daripada tanganku taruhannya,' batin (Name) pasrah. Tersenyum kecut atas kesialannya hari ini.

Berkebalikan dengan sang gadis yang ketar-ketir menulis ulang esai yang panjang, Halilintar dalam hati menertawakan kesialan sang gadis. Siapa suruh membuatnya kerepotan.

'Lumayan, sih, hiburan. Eh, tapi gawat juga misalnya ini anak enggak beresin tugasnya. Enak aja dia dapat nilai, hasil nyontek lagi. Lah aku, yang punyanya malah kena ampasnya aja,' omel Halilintar dalam hati.

"Nih, enggak usah cemberut gitu. PR Abang enggak hilang, kok, tadi aku pinjam bentar buat nyontek," seloroh Taufan tiba-tiba mendatangi meja Halilintar.

Dikira hilang ternyata objeknya lagi dipinjam. Kalau (Name) tahu, pasti dia langsung mengeplak Taufan dengan keras. Ingin Halilintar adukan kepada sang gadis, tapi tampaknya dia tidak akan melakukannya. Sebab melihat (Name) yang sengsara dan tengah bekerja keras (tambahan gerutuan dari mulutnya) menjadi kesenangan tersendiri bagi Halilintar.

'Semangat nulisnya, perempuan cerewet.' Halilintar tersenyum simpul.

"***"

Grahita ➵ BoBoiBoy HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang