Part 6

106 19 3
                                    

Ting!

Suara dentingan microwave itu sontak membangunkan Bening yang terbaring lemas, tertidur pulas. Segera ia beranjak, duduk bersandar pada headboard ranjang dimana dirinya tertidur lelap tadi. Mengusap-usap mata yang sembab. Hingga pandangan yang semula kabur kini perlahan membaik dan menjadi lebih jelas. Sampai ia mendapati bahwa dirinya berada di lokasi yang terlihat asing dalam ingatannya.

Gadis itu terbangun di dalam kamar luas yang didominasi warna putih tulang. Desain interior dan dekorasi sekitarnya juga sangat modern dan minimalis. Tak banyak perabotan dalam bilik tersebut. Sebuah televisi LED 37 inchi berada di jarak sekitar 4 meter di hadapan ranjang. Di sisi kirinya, tepat bersebelahan dengan dekat pintu kayu tersusun satu set sofa empuk berwarna senada lengkap dengan meja kecil di sampingnya. Rak buku kayu yang dipernis mengkilat di sudut ruangan serta kabinet putih dengan deretan bingkai foto terpajang di atasnya.

Sepasang mata bermanik hazel itu lekas memicing. Sebelah tangannya terkepal, bergerak menghentak-hentak sisi kepala yang tersengat pening. Seraya mencoba mengingat kilas kejadian yang mungkin terselip di antara lobus otaknya.

Kantor bank. Kedatangan Cakra yang menyebalkan. Makan siang di kafe gedung. Jam pulang. Hujan ㅡeh?

Dalam sekejap mata, terlintas dalam ingatannya bagaimana ia memberanikan diri untuk menerobos hujan yang mengguyur kota petang itu. Usahanya ketika tetap melangkah tertatih tak peduli hawa dingin menusuk sum-sum tulang yang dibawa bersama rintik hujan lekas membuat pertahanan tubuhnya gentar. Badannya menggigil, dilanda gemetar hebat.

Hingga kedinginan berhasil menjerat raganya, merampas segenap kekuatan yang tersisa di ujung hari. Lutut yang menopang tubuhnya mendadak lemas membuatnya limbung dan segera jatuh. Nyaris tersungkur mencium permukaan trotoar jalanan raya yang penuh dengan genangan air hujan.

Samar-samar ia temukan kepingan lain saat mengais ingatannya. Ada siluet laki-laki yang menyambanginya. Sosok yang terasa dekat. Yang betul dia kenali wajahnya, senyumnya, juga perlakuan hangat itu. Tetapi kira-kira siapa?

Bening tidak tahu.

Hingga sekelebat asumsi buruk mulai menghantuinya, menyusup ke dalam pikirannya yang semula tenang. Alih-alih hendak melarikan diri dari sana, gadis ini malah beringsut mundur. Menenggelamkan diri dalam selimut tebal. Sejenak, kepalanya kembali dipenuhi dengung potongan rekaman suara itu lagi.

"Aku disini bakal menampilkan lagu I See the Light karena aku suka film Tangled hihi. Bersama kakak kesayangan akuㅡ

"Now I'm here suddenly I see
Standing here it's all so clear
I'm where I'm meant to be

At the last ㅡDuargh!

Bening segera menutup kedua telinganya rapat-rapat. Berharap kompilasi suara ledakan maha dahsyat, runtuhnya gedung, jerit tangis meraung-raung, juga rintih kesakitan yang menggema dalam kepalanya lantas redam seketika. Sayangnya bukan menghilang, semuanya beresonasi kian kuat di dalam sana.

Bahkan tatkala terpejam sekalipun, Bening masih tidak dapat menghindar sedikitpun. Ingatannya terus saja memutar adegan tragis yang berputar serupa rol film tua yang kusut.

Meskipun dipenuhi luka sobek dengan tetes darah segar yang mengalir di sepanjang lengannya, gadis kecil itu masih mencoba meraba-raba sekitar. Jemari kecilnya terangkat ke udaranya walaupun harus menahan rasa sakit yang teramat menyiksa akibat runtuhan dinding berukuran besar menimpa lengannya hingga memar membiru. Bibir mungilnya bergetar, hendak bersuara. Namun gejala asma yang tiba-tiba kambuh menghalanginya untuk memanggil dan meminta pertolongan.

Gadis itu berucap lirih sekali dengan ritme napasnya yang tercekat. Sulit sekali untuk mengucapkan dua patah kata saja.

"Tolong...aku...."

When We Go Hazy | Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang