Prolog #1 : Cakrawala Angkasa Dinata

311 43 3
                                    

Besok, aku mau pergi jauh. Jaga diri kamu baik-baik ya.

Entah bagaimana ucapan gadis itu kemarin mulai berdegung dalam kepalanya. Isi panggilan telepon yang berakhir 1 menit yang lalu masih tidak mampu dia cerna. Sirene mobil polisi atau ambulans menyalak buas, memekakan gendang telinga. Riuhnya teriakan histeris manusia yang saling bersahutan. Namun, suara sang penelpon malah terdengar begitu lirih, ditelan bising disana. Masih terpaku pada layar handphone dalam genggamnya, yang mulai berdenting berkali-kali. Juga notifikasi gelembung chat yang silih berganti di atas sana.

Aku pamit, Cakra. Semoga kita bisa bertemu lagi lain waktu.

Deg!

Sontak laki-laki itu segera menyambar padding hitam yang tergantung di sudut ruang tamu apartemennya. Menyimpan ponsel dalam sakunya dan meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Televisi di ruang tengah dibiarkan dalam kondisi menyala, menampilkan portal breaking news yang disiarkan langsung dari kawasan padat penduduk oleh seorang reporter wanitanya yang mengabarkan berita terbata-bata. Asap tebal yang terhirup olehnya jelas mempersempit organ pernapasan hingga sesekali dia harus terbatuk parau, berlatarkan suasana gaduh di belakang sana. Kobaran api melalap kompleks rumah susun di pinggir kota.

Dengan langkah kaki lebar yang begitu terburu-buru, lelaki ini berpacu dengan waktu. Berharap bisa meninggalkan apartemen ini secepat mungkin. Malam itu, 14 Februari bertepatan dengan hari perayaan valentine. Apartemen sedang ramai-ramainya, oleh pasangan muda yang berlalu lalang. Bahkan sesak memenuhi lift yang jadi akses utama gedung ini.

Jadilah dia tidak punya pilihan lain. Lelaki ini segera putar haluan, menuju pintu besi setengah terbuka di ujung lorong. Tangga darurat. Dia turun menuju parkiran bawah tanah dari sana. Langkah kakinya semakin cepat. Napasnya pun kian memburu. Tidak peduli tubuhnya mulai terasa gerah dan bermandikan peluh, ketinggian 10 lantai berhasil dia lewati.

Begitu memasuki areal parkir, dia segera mencari lokasi mobilnya yang terparkir entah dimana. Sial! Kalau tahu begini, besok-besok dia berencana menyewa lahan khusus yang akan jadi lokasi parkir mobilnya sampai kapanpun. Bila perlu, melintas sesaat pemikiran untuk segera pindah dari sini. Apartemen ini sudah cukup membuat dia muak.

Tetapi urusan ini bisa dipikirkan lagi nanti. Bagaimanapun juga dia harus segera tiba disana apapun yang terjadi.

Mesin mobil itu mulai berdesing, menggema ke seluruh penjuru parkiran yang lenggang. Kemudian melaju kencang, melewati lorong di antara deretan mobil lainnya. Putaran ban-ban itu kian cepat, melindas pelataran gedung beraspal. Membelah heningnya malam di jalan raya kala pedal gas di bawah sana ditekan kuat oleh kaki lelaki itu. 120 km/jam. Mobil ini membabi buta di tengah malam, seolah pemiliknya adalah penguasa jalanan.

Lelaki ini cukup beruntung lalu lintas malam ini cukup lancar. Meskipun di satu atau dua persimpangan, lampu merah akan jadi santapan empuk emosinya. Bagi dia, bagaimana angka disana dihitung mulai terasa membunuhnya perlahan di setiap detik. Berkali-kali dia menggebrak klakson mobil seperti orang gila. Di perempatan terakhir, lelaki ini sudah telak kehilangan kesabaran. Entah apa pelanggaran apa yang akan dikenakan padanya esok, otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih saat terus melajukan mobilnya begitu saja melewati kendaraan yang mulai melambat mendekati lampu merah. Dia tidak peduli apapun.

"Selamat malam, tuan. Anda kerabat salah satu pemilik rumah susun Nirwana? Kalau benar, mohon segera datang ke rumah sakit Universitas untuk memverifikasi kondisi orang terdekat anda. Terimakasih." Dengan pandangan yang jatuh sepenuhnya pada jalanan, suara bariton yang menyapa pendengarannya di panggilan tadi mungkin terasa asing. Namun, dia jelas mengerti saat sang penelpon segera menyahut begitu salah satu bawahannya berteriak begini.

When We Go Hazy | Zhong ChenleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang