BESIDE STORY 4

145 49 15
                                    


Selama program pengabdian, Echa dan Tae tidak melakukan hal-hal yang berat secara langsung. Mereka membantu orang-orang mengecek golongan darah (sudah pernah dipelajari di sekolah), mengukur tinggi dan berat badan, dan paling sering kerja serabutan apa pun yang disuruh.

Untuk hal-hal serius, mereka lebih mengamati, sambil mencatat. Lalu nanti berdiskusi dengan tenaga kesehatan yang lebih ahli jika ada yang ingin mereka tanyakan. Mulai dari memeriksa pasien dengan stetoskop, mengecek tekanan darah, sampai belajar berbagai jenis obat.

Di puskesmas ini, terdapat tiga bangunan berjajar dekat: bangunan puskesmas utama yang terdiri dari dua lantai dan tidak besar tempat pasien berobat untuk penyakit umum; di tengah ada bangunan satu lantai tempat rawat inap ibu-ibu melahirkan; dan terakhir, Unit Gawat Darurat satu lantai. Memang sederhana, tetapi cukup sebagai tempat berobat orang-orang di kecamatan itu.

Echa sedang mengintip ke dalam sebuah ruangan rawat inap di UGD melalui jendela. Di sana, ada pasien anak berumur sepuluh tahun, yang dirawat karena kecelakaan tiga hari yang lalu. Ibu dari anak itu selalu menangis diam-diam melihat anaknya. Jadi, ia suka saja memantau mereka, karena terpancar cinta yang amat besar dari seorang ibu kepada anaknya.

"Apa yang lu pikirin?" tanya Tae yang tiba-tiba datang, dan ikut melihat ke arah pandang Echa. "Hm, emang nampak jelas kalau beliau cinta sama anaknya. Mulai dari meneror dokter setiap saat, sampai bisa nangis tiba-tiba."

Senyuman Echa terlukis kecil. Ia memandang Tae. "Lu ingat, waktu SMP gue pernah kena kasus besar?" Ia berbalik, sambil melipat kedua tangan di dada. Sebelah sudut bibirnya terangkat, pikirannya menerawang ke masa silam.

Tae berdeham. Ia menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah gadis itu. "Ingat," jawabnya dengan suara tertahan.

"Dia terus-terusan mengejek gue ... karena gue gak ngerespons, dia ninju sampai sudut bibir gue berdarah. Ya, namanya ditinju cowok." Ia tertawa kecil. "Gue bales dong. Eh, dia nangis dan langsung pulang buat aduin ke orang tuanya."

"Waktu itu gue latihan—"

"Saat gue lagi ngumpul sama teman-teman, tiba-tiba dua orang dewasa datang menghardik dan menyerang gue." Echa terdiam sebentar. "Ternyata itu orang tua dia. Gimana pun gue berusaha menjelaskan ... gue tetap salah."

Tae terdiam. Saat kejadian itu, ia tidak tahu sama sekali. Ketika Echa dikerumuni orang karena diserang dan digiring ke ruang guru, baru ia segera berlari ke sana. Ia juga menelepon ayahnya untuk membantu Echa. Bagaimana juga, jika di posisi seperti ini Echa membutuhkan orang dewasa.

"Waktu itu ... lu keren banget," puji Tae.

Echa mengernyit, memandang Tae heran.

"Lu tetap kelihatan tenang, dan gak nangis sama sekali. Lu emang kuat!"

Echa tertawa kecil. "Gue emang udah kuat perihal diperlakukan tidak adil." Ia tersenyum. "Lagian, gue gak bisa nangis lagi, kecuali ...." Ia terdiam. Aduh, benar juga. Akhir-akhir ini ia pernah menangis karena .... Echa cepat-cepat menggeleng. "Di hari itu, gue belajar dua hal."

Tae menantikan ucapan Echa. "Apa?"

"Jika gue gak punya benteng sebagai tempat berlindung, maka gue bakal bekerja keras supaya menjadi besar, dan bisa membentengi diri sendiri."

"Yang kedua?" tanya Tae setengah berbisik.

"Kalau di masa depan gue diberi kesempatan untuk menjadi orang tua, gue gak bakal biarin anak-anak gue merasa gak berharga di depan orang banyak," ungkapnya lirih.

***

Echa dan Tae menanti di depan UGD untuk menyambut kedatangan senior mereka. Hari ini agak spesial, karena setelah sebulan di sini, akhirnya mereka bisa bertemu langsung dengan si senior.

B A B E G I (✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang