4. G E V A N

1K 190 38
                                    

Kelas XI IPA I mulai terlihat ramai. Siswa-siswinya berdatangan memenuhi kelas. Sementara itu, di sudut kelas, Gevan terlihat sibuk menyalin pekerjaan rumah dari buku Egi. Kecepatannya menyalin tidak perlu diragukan lagi, karena sudah menjadi aktivitas sehari-hari. Walau dengan kecepatan super, tulisannya tetap bagus. Anugerah dari lahir.

"Wih! Ada PR!" seru Digo ketika melihat Gevan menyalin di buku. Ia langsung bergegas menuju mejanya yang berada di depan meja Gevan. "Lah! Pena gue ilang lagi!"

Gevan yang masih sibuk menyalin dengan tangan kirinya—ya, ia kidal—, menggunakan tangan kanan yang bebas untuk mengambil pena dari dalam laci dan memberikan pada Digo.

Untuk beberapa saat, Digo terkesan. Namun, semua itu musnah karena menyadari bahwa pena tersebut masih baru. Ia menatap Gevan datar, lalu bertanya, "Berapa?"

"Lima belas ribu."

Kedua alis Digo terangkat, ia terkejut. "Kok mahal!?"

"Nih, sekalian sama tipp-ex, lu pasti butuh." Ia menyerahkan tinta pengoreksi dengan botol merah itu kepada pria tersebut.

"Guekan gak bilang mau tipp-ex?"

Gevan menghentikan aktivitas menulisnya, lalu menyimpan buku karena sudah selesai. Ia memandang Digo datar. "Gue gak bilang lu mau, tapi lu butuh. Tinggal bayar aja biar cepet. Lu mau tu tugas gak selesai?"

Daripada pembahasan ini menjadi panjang, Digo mengambil saja benda tersebut dan membayarnya. Gevan memang memiliki beberapa benda baru yang selalu dibawanya untuk dijual, semua orang sudah tahu itu.

"Woi, Gev, udah selesai?" tanya Alea sambil duduk di sebelahnya. Mereka memang duduk sebangku. Belum sempat Gevan menjawab, tiba-tiba datang dua orang siswi menghampiri meja mereka dengan semangat dan wajah ceria.

"Bang Gevan! Udah sarapan? Ini aku bawain sarapan," ujar salah seorang dari mereka sambil menyodorkan sekotak makanan.

"Kalau aku buatin jus, Bang," kata yang lainnya.

Punggung Gevan bersandar di kursi sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia menatap datar, lantas berucap, "Ya, udah, taruh situ." Ia menunjuk mejanya dengan dagu.

Kedua siswi itu pun tampak senang dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu, mereka berdiri terdiam, tetap tersenyum.

"Apa lagi?" tanya Gevan heran.

Salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, "Bang, boleh minta nomor ponsel?" tanyanya penuh harap.

"Boleh," jawabnya santai, membuat siswi itu bersorak senang. "Tapi satu angka, sepuluh juta, gimana?"

Siswi itu pun menunjukkan ekspresi cemberut manja yang dibuat-buat.

"Lagian kalian tolong hargai pacar gue, dong. Gak lihat, nih?" Gevan melirik Alea sekilas. "Dah, pergi sana. Seserahan lu udah gue terima."

Kedua siswi tersebut pergi dengan ekspresi kesal. Melihat itu, Alea langsung memukul bahu Gevan. "Jangan-jangan lu udah niat mau nikahin lukisan?" tanyanya selidik. "Lu termasuk kaum fanatik, 'kan?" Ia menatap curiga.

"Nikahin lukisan gimana? Ntar anak gue cat air, dong?" Alis Gevan bertaut, entah apa maksud dari gadis itu.

"Soalnya lu menjauh memulu dari cewek. Gak tertarik sama manusia, 'kan, lu?" tudingnya.

Gevan tertawa mendengar penuturan sahabatnya itu. "Lu sendirikan tahu kalau gue gak suka dideketin cewek kayak begitu. Terlalu mudah. Ngejar-ngejar gak jelas." Ia memandang Alea penuh arti sambil berkata bangga, "Gue tampan, berbakat, kaya, mereka semua udah jelas tujuannya." Namun, ia menghela napas kemudian. "Padahal itu semua gak abadi."

B A B E G I (✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang