Assalamu'alaikum. :)
Happy reading!
Jangan lupa klik bintang, tebar bacotan, dan bagikan cerita ini ke teman-teman jika suka, yaaa.
*****
Egi mempercepat langkah, tadi ia melihat Echa berlari menuju atap. Ia pun segera menaiki tangga untuk menyusul gadis itu. Perasaannya tidak enak, ia sangat khawatir.
Saat menginjak atap, Egi memperlambat langkah. Ia berhati-hati, langkahnya nyaris tak bersuara. Ia pun melihat Echa sedang berdiri sambil menggenggam pagar pembatas yang terbuat dari besi. Bahunya tampak naik-turun, ia terisak-isak, suaranya terdengar sangat menyedihkan, membuat hatinya hancur. Ia mendekat perlahan, tak ingin mengejutkan gadis itu.
Menyadari kehadiran seseorang di sampingnya, Echa terdiam seketika. Ia menoleh ke samping, dan mendapati Egi sedang menatapnya sedih. Namun, Egi tampak cukup kaget karena wajah Echa terlihat biasa saja. Tidak ada bekas air mata sedikit pun di wajahnya.
"Gue lagi berusaha keras buat nangis," kata Echa datar, ia sangat tenang. "Hiks ... hiks," ucapnya sambil menutup mata dengan tangan. Ia lalu membuka mata, dan menatap Egi putus asa. "Tuhkan, tetap gak bisa. HIKS! HIKS! HIKS!" Ia lebih terdengar seperti sedang kesal.
Tawa Egi langsung menyembur. Ia tidak bisa menahannya. "Gak hiks ... hiks ... hiks juga, ha-ha-ha."
"Bukannya begitu?" tanya Echa bingung. "Itu tulisan di cerita yang gue baca."
"Cerita apaan?" tanya Egi heran dengan sebelah alis terangkat. Ia masih tertawa, tetapi wajah gadis di dekatnya itu terlihat serius sungguhan. Ia lantas terdiam, karena mulai teringat cerita Yoan tentang Echa. Ia tersenyum kecil kemudian. "Jangan nangis."
Echa tersenyum kecut, ia memandang ke depan, melihat gedung-gedung yang tersusun rapi dihiasi pepohonan. "Rasanya sesak. Gue mau ngeluarinnya. Gue mau nangis, tetapi gak bisa." Ia terdiam sejenak, tampak berpikir. "Semenjak hari itu, gue gak bisa nangis karena sedih, apalagi karena bahagia." Ia menatap Egi kemudian. "Mungkin gue gak pernah lagi ngerasain perasaan sedih melebihi hari itu, dan gak pernah lagi ngerasain kebahagiaan setelah hari itu." Ia tersenyum hampa.
"Maaf, Cha," kata Egi pelan. "Maafin Amanda dan Ana." Ia pun menatap Echa tulus. "Maafin gue juga."
Echa mengernyit. "Kenapa lu yang minta maaf?"
"Gue sebenarnya gak tahu kenapa Amanda begitu, tapi pasti karena gue, 'kan?"
Bibir Echa mengerucut. Ia menatap Egi malas. "Masalah topi yang lu pinjemin ke gue." Ia pun melipat kedua tangan di atas pagar. "Gue jadi dia juga bakal kecewa. Lu sih, kenapa kasih pinjam ke gue barang dari orang lain?" tanyanya datar.
Egi terdiam, tetapi tetap saja Amanda keterlaluan, dan mungkin ia juga salah di sini.
"Woi!"
Egi dan Echa terlonjak kaget. Bahu mereka ditepuk oleh Gevan yang berdiri di belakang sambil memasang senyuman tidak berdosa, membuat mereka menoleh dengan wajah kesal.
"Eits, jangan kesal, dong!" cegah Gevan sambil tertawa garing. "Gue ini datang menyelamatkan kalian dari dosa. Gak baik berdua-duaan."
Egi pun menoyor kepalanya. "Alesan lu!" Ia pun melihat ke belakang, seperti mencari-cari sesuatu. "Kevin sama Ale, mana?"
"Mereka lagi nyiapin tempat buat musyawarah nanti," jawab Gevan seadanya. "Eh, ngomong-ngomong Echa sendirian aja?" tanyanya mengode dengan alis naik-turun.
Egi menatap Gevan kesal, sambil memukul lengannya. "Sendirian lu bilang? Lu pikir gue apaan, ha? Butiran Rinso!?"
"Eh, kok butiran Rinso, bukanlah," bantah Gevan tak terima.

KAMU SEDANG MEMBACA
B A B E G I (✅)
Teen Fiction[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Nama gue BABEGI. BA! Banyak yang suka. BE! Benar-benar memesona. GI! Gila! Ada pria seperti dia! Yap, itulah gue .... BA-BE-GI. Para gebetan biasa manggil gue "Be". Temen-temen manggil gue "Egi". D...