Aku masuk kamar dengan banyak rasa yang bergulung-gulung dalam dada. Tebersit di pikiran, jika Mami yang menghendaki ini. Tiba-tiba aku merasa sengaja dibuat menjauh. Mami sepakat jika ini adalah kesempatan yang berharga. Bisa berkuliah di universitas impian. Dan semua terkait biaya tidak perlu Mami pusingkan lagi. Inilah intinya. Inilah yang membuat Mami sepakat. Katanya anggap saja ada seorang dermawan. Seseorang yang tidak mau diketahui identitasnya. Apakah ini semacam gerakan orangtua asuh? Dan aku dimasukkan Mami ke program tersebut? Oh, ya, ampun, begini amat nasibku, kalau itu betul-betul yang terjadi. Namun, aku pun tadi sudah menyetujui. Jadi, apapun latar belakangnya, seperti yang Mami tekankan, aku hanya perlu fokus belajar.Mami, aku kenal sangat, tidak pernah kelihatan mengeluhkan atau mempermasalahkan soal biaya sekolah. Dari dulu, aku, adalah prioritasnya. Apapun kebutuhanku, Mami selalu bisa memenuhinya. Ya, aku lihat dia berusaha keras untuk itu. Kami bukan orang dengan kemampuan ekonomi yang aduhai. Namun tidak juga termasuk rendah. Selain bekerja di sebuah perusahaan swasta, Mami juga mulai merintis berwirausaha.
“Bekerja untuk selama-lamanya di sana bukanlah rencana Mami, Za. Suatu hari Mami akan keluar dan fokus dengan usaha rintisan Mami sendiri. Anggap saja, hitung-hitung mengumpulkan modal dahulu. Nanti kalau kamu sudah lulus kuliah, kita berdua bisa mengurusnya bersama-sama.” Mami menyudahi kalimatnya dengan senyum yang teramat cerah. Aku tidak tahu bagaimana kehidupannya dulu saat Papi masih di sampingnya. Hanya saja, yang kulihat selama ini, Mami adalah sosok ibu yang tegar. Kalaupun, misalnya keteguhannya itu kini telah berubah, aku berusaha sebaik mungkin untuk bisa memahaminya. Bukan hal mudah untuk membesarkanku seorang diri.
Jadi, tentang seseorang yang dermawan itu, bisa jadi dia adalah sosok yang Mami kenal. Mungkin kerabat jauh atau teman baik masa lalu. Siapapun, yang pasti Mami maupun orang tersebut tidak ingin diketahui jati dirinya. Barangkali agar tidak mengikis dan menodai kedermawanannya. Konon, orang-orang yang benar-benar ingin beramal baik, selalu berusaha menutupinya. Demi menjaga hati sendiri.
Kalender yang menggantung di dinding dekat pintu kucermati lama. Kuperhatikan tanggal-tanggal yang tertera, seolah sekarang aku memiliki masa-masa terbatas. Teman-teman dan gedung kampus membayang di benak. Aku memang tidak banyak bergaul, tidak banyak teman akrab yang kupunya. Orang-orang agaknya hanya tahu jika aku cuma bersahabat karib dengan Ami. Friendship circle yang aku miliki kecil saja. Bukan sebab pilih-pilih atau kenapa-kenapa, aku hanya merasa lebih baik memiliki sedikit teman akan tetapi solid. Ketimbang banyak dan ramai tapi sekadar untuk memperlihatkan pada khalayak, bahwa seramai itu teman-teman yang dipunya. Ketulusan dalam berteman biarlah jadi nomor ke sekian.
Masih ada sekitar sepekan, kurang lebih, untukku menyelesaikan tugas-tugas dan berpamitan pada teman. Dan isi kepalaku seketika beralih pada hal-hal seputar mencari kata yang tepat untuk memberitahu teman-teman sekelas. Juga pada Ami yang berbeda kelas. Sebetulnya terhadapnyalah yang membuatku bingung. Kami berdua tidak bertengkar, tapi juga tidak tampak baik-baik saja. Dan, aku mesti memperbaikinya. Tetap dengan catatan, tanpa menyinggung perihal Viona. Yang Ami tahu, aku sama hal dengannya, cuma sebatas saksi biasa yang menemukan Viona. Sudah. Lalu perihal mimpi yang jadi cikal bakal pertemuan itu, pun dianggapnya sebagai jembatan saja. Sebuah kejadian luar biasa sekali seumur hidup.
Pukul 21.35, dan pikiranku masih melanglang buana. Gawai di atas meja belajar, baru menyedot lagi perhatianku. Teringat pesan yang sedang kuketikkan tadi, belum selesai. Kutangguhkan untuk dikirim pada si entah siapa, tapi dia tahu aku siapa. Tentang Viona yang dipindahkan.
Kalau saja aku memang memiliki kemampuan super, sekarang juga mungkin aku akan pmelesat ke rumah sakit. Lalu mengaktifkan moda invisible, memperhatikan semuanya di depan mata, tanpa perlu diketahui orang sekitar. Ah, khayalan yang terlampau tinggi. Nyatanya, aku cuma bisa duduk mencangkung di dalam kamar. Dengan gawai yang mulai kuraih. Aku mengetuk dua kali di atas layar. Setelah menyala, segera benda itu mendeteksi wajahku dan kunci pun terbuka.
Langsung menuju ke layar yang tadi kutinggalkan.
[Jadi, ke mana Viona dipindahkan?
Boleh tahu sekarang, Anda ada hubungan apa dengan Viona?
Apa sungguh bagian dari keluarganya?
Maksudku, berarti aku bisa berpamitan melalui Anda.
Aku benar-benar tidak bisa membantunya lagi, karena aku juga akan pindah]Send.
Terkirim sudah pesan itu. Aku membacanya lagi dari awal hingga akhir. Wah, panjang sekali. Dan kentara betapa pesan yang kusampaikan teramat sangat impulsive.
Centang abu dua. Kurebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar. Lalu, usai memejamkan mata sejenak, aku mengerjap. Bodoh, sebaiknya kuhapus saja pesan barusan. Mumpung masih abu-abu. Aku mendekatkan lagi ponsel dalam genggaman ke dekat wajah. Baru saja kusentuh deretan kalimat-kalimat pesanku hendak menghapusnya, tiba-tiba saja berubah menjadi centang biru. Aku langsung terduduk menatapi layar dengan tulisan “sedang mengetik …” muncul di dekat nomor pengirim.
Buru-buru, aku keluar dari chat-room. Tidak mau tepergok jika pesannya nanti langsung centang biru. Akan tampak jelas baginya jika aku menunggui pesannya. Kualihkan scrolling ponsel ke pesan-pesan lain, kalau saja tadi ada pesan masuk dan belum kubaca.
Sementara kutinggalkan, bunyi khas tanda pesan masuk ke gawaiku terdengar. Beruntun. Agaknya lebih dari satu. Mungkin menyesuaikan baris pesanku yang juga banyak dan beruntun. Aiiih, mendadak aku merasa malu. Namun, tak ayal juga dadaku berdentuman. Aku harus siap dengan balasan pesan itu, terburuk sekalipun.
[Kalau kamu dipindahkan ke Bandung
Kamu tidak perlu repot-repot mundur
Itu juga berarti … kamu bisa ketemu aku di sana
Dan itu bakal jadi pertemuan kedua kita]Oh, my …. Yang benar saja? Serius, pesan yang sedang kubaca ini isinya seperti itu?
Aku mengusap dada. Mengepalkan tangan kemudian menepuk-nepuk debaran jantungku sendiri.
Apakah aku boleh menebak-nebak lagi? Entah mengapa dari rentetan kalimatnya, aku merasa yakin jika seseorang di belakang nomor tak dikenal ini, bukan seseorang yang mesti kupanggil dengan sebutan Anda. Kukira sepeti halnya dia memanggilku, aku pantas memanggilnya dengan sebutan “kamu” juga.
Feeling-ku berkata, dia tak begitu jauh umurnya dariku. Jadi, wahai Anda, siapa sebetulnya kau? Pertemuan kita yang kedua kalinya?
Malam sudah semakin merayap naik, dan pesan-pesan dalam ponsel malah semakin membuat mataku terbuka dan pikiranku menerawang. Pertemuan pertama kami adalah di sini, tapi nanti pertemuan kedua adalah di kota baru tempat aku menuntut ilmu menuju?
Sebetulnya, apakah dalam hal ini aku memang sedang sengaja digiring oleh orang-orang yang belum kuketahui siapa saja? Dan salah satu dari orang itu adalah Mami? Ibuku sendiri? Ada apa di balik semua ini? Aku sedang diarahkan ke mana sesungguhnya?
***
#Part6
#HelpMeOut
#KiranaWinata
KAMU SEDANG MEMBACA
Help Me Out
Mystery / ThrillerThirza Thania, seorang mahasiswi biasa, tiba-tiba didatangi satu sosok dalam mimpi, bernama Viona yang meminta bantuannya untuk membebaskan jiwanya dan keluar dari tempat penyekapan dan menemukan para pelaku kejahatan. Namun, dia tidak pernah mengir...