Sebelas - Mari Benar-Benar Berpisah

11 2 0
                                    

Sampai hari ini aku masih tidak punya alasan untuk membenci dia atau setidaknya tidak tertarik untuk melihat apa yang dia pakai, apa yang dia lakukan atau siapa yang bersamanya. Berkali-kali aku mengeluarkan ribuan kebencian, berkali-kali juga aku seolah tak peduli terhadap semuanya. Teapi sia-sia, aku tak bisa melawan bagian dari diriku sendiri. Hatiku.

Dari spion mobil, Gadis itu tersenyum malu ketika dengan sengaja puncak kepalanya diusap. Bahkan mereka melempar tawa kecil sesekali, sebelum kemudian saling melambaikan tangan. Semua itu dulu milikku, secara tiba-tiba semua hilang menjadi milik orang lain.

Aku keluar dari mobilku, mata kami bertabrakan. Aku dan pria yang bahkan baru saja menurunkan lengannya setelah lambaian pada kekasihnya. Dia melangkah mendekat dengan tatapan yang tak pernah lepas dariku.

"Kenapa?" Tanyanya nyaris berbisik. "Lo juga mau?"

Ia mengarahkan lengannya ke puncak kepalaku, tetapi sebelum itu terjadi aku menepisnya kasar dan menamparnya sekuat yang aku bisa.

Dia terkekeh pelan mengelus pipinya. "Gitu, Cit, keluarin emosi lo."

"Diem."

"Lo terlalu lemah-"

"GUE BILANG DIAM!"

Bibirku bergetar, tanganku mengepal keras. Air mata beriringan jatuh, seluruh mata menatapku.

"Lo itu sampah," ucapku sedikit berbisik.

"Jangan nangis, Cit."

"Lo gak punya hati, Rangga."

"Jangan nangis."

Aku tak mengindahkan ucapannya, aku benci tetapi tak mampu membenci. Mengapa di saat seperti ini Rangga mengeluarkan sorot mata itu lagi? Sorot mata yang kukira sebuah ketulusan. Rangga tak lebih dari seorang pria yang menganggap perasaan wanita adalah lelucon atau piala kemenangan. Seolah semua wanita bisa diperlakukan semaunya dan dia akan selalu tunduk.

"Berhenti melangkah ke arah gue lagi, berengsek."

Rangga memelukku, benar-benar memelukku di depan semua orang. Aku mendorong dadanya keras-keras. "LO GILA?"

"Lo butuh, kan?"

Nafasku memburu, melempar buku anatomi di lenganku tepat di dadanya kemudian berlalu, berpapasan dengan Ana yang sejak tadi menonton. Aku tak peduli, semua orang tahu Rangga sudah gila.

"Cit," panggil Zalfa.

"Gak sekarang."

Aku memilih tempat paling pojok di barisan paling belakang, berharap tatapan menghakimi atau ribuan pertanyaan di mata mereka bisa berhenti mengarah padaku. Semakin lama, pandanganku berbayang, dioenuhi kunang-kunang. Aku memijat pelipussku berkali-kali tetapi tak afa yang berubah, pandanganku gelap bahkan semakij gelap.

"Citra?"

"Cit?"

"Bawa ke klinik."

***

"Apa aku udah seburuk itu di mata kamu? Apa aku justru mendorong kamu semakin jauh? Aku cuma mau yang terbaik buat kamu, Cit. Kalaupun kamu harus sama orang lain, aku cuma pengen pria itu punya perhatian sama hal-hal kecil yang berdampak besar kaya sekarang."

"Kamu gak minum vitamin yang aku kasih, kan? Suplemen, obat, minyak angin, aku gak ngasih itu secara cuma-cuma. Aku tau kamu rawan sakit, gak bisa terlalu capek."

"Tapi dibalik semua itu, aku sadar aku penyebabnya, aku juga gak akan nyangkal. Aku mau ikuti kamu, berhenti melangkah kr arah kamu"

Ujung jemari dingin mengenggam lenganku, mengelus pelan. Mimpi ini begitu nyata, seolah dapat menggambarkan apa yang aku harapkan. Meski ketika membuka mata, tidak ada pria itu, Rangga tidak di sampingku sebagaimana suaranya yang terdengar sangat jelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MengudaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang