Tiga - Denganmu

33 5 0
                                    

Sudah sepuluh menit berlalu, aku dan Rangga berada di dalam mobil menuju toko hiasan ruangan. Rencananya, aku akan membeli beberapa figura baru juga lukisan-lukisan sederhana. Rangga juga memiliki keperluan untuk membeli jam dinding baru, katanya dia bosan dengan jam dinding yang tertempel di kamarnya.

"Haus gak, Cit?"

"Kenapa? Kamu haus?"

"Iya nih."

"Ya udah mampir dulu ke minimarket."

Rangga mencari minimarket, memarkirkan mobilnya di depan minimarket.

"Ikut nggak?"

"Nggak ah kamu aja."

"Ya udah, kamu apa?"

"Apa aja."

Rangga mengangguk, turun dari mobil. Aku membunuh waktu dengan bermain game di ponselku, hingga dering ponsel Rangga membuatku menoleh.

Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Aku tidak mengenal nomor ponsel itu, namun sepertinya penting karena sudah dua panggilan tidak dijawab. Ketika ponsel itu berdering lagi, aku akhirnya mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

Tidak ada jawaban.

"Halo?" sapaku mengulang, sekali lagi tidak ada jawaban dan panggilan itu berakhir. Aku menyimpan ponsel Rangga di dashboard, bersamaan dengan Rangga yang selesai membeli minuman.

"Ga, ada yang telepon."

"Siapa?" tanya Rangga seraya memberikan susu kotak kesukaanku.

"Nggak tau, nomornya nggak ada namanya."

Rangga menatapku sejenak, kemudian mengambil ponselnya dan melihat log panggilan. "Lain kali nggak usah di angkat."

"Aku kira penting tadinya. Emang kenapa, Ga?"

"Biasalah, orang kalo udah ngefans suka berlebihan sampe kaya teror."

Aku mengangguk paham. "Kenapa nggak ganti nomor aja kalau udah tau kesebar?"

"Nanti aku ganti."

Mobil terus melaju, ditemani alunan lagu Untuk Perempuan yang Sedang Di Pelukan milik Payung Teduh. Sesekali Rangga ikut bernyanyi membuatku tersenyum. Aku memutar tubuhku menghadap Rangga, jemariku menyisir pelan rambutnya yang semakin panjang. Lelaki itu menoleh, tersenyum singkat kemudian kembali pada jalanan.

"Pacarku ganteng amat, pasti yang ngejarnya banyak."

"Oh jelas dong banyak banget."

Aku memukul lengannya. "Kebiasaaan, kalau dipuji malah jadi besar kepala bukan merendah."

Rangga terkekeh pelan. "Nggak bisa, Cit, aku bukan orang yang suka merendah untuk meroket."

Aku mendengus. Rangga meraih jemariku, mencium punggung tanganku. "Wangi banget, Cit, sabun kamu apa?"

"Gak bakal tau, aku belinya di kayangan."

"Oh iya lupa kan bidadari gak beli sabun di warung. Mandinya aja di danau bareng kodok."

"Nggak bareng kodok juga tau!"

"Ya bareng dong, Cit, akui aja nggak usah malu."

"Apaan deh Rangga mulai gak jelas."

"Akutuh jelas, Citra. Coba kamu bedah dada aku deh, pasti di hati aku cuma ada kamu dalam bentuk miniatur."

Seketika aku tersenyum geli. "Nggak nyambung tau."

MengudaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang