Satu - Berbeda

45 8 0
                                    

Di teras rumah, cahaya matahari semakin hangat beriringan dengan arloji di jemariku yang terus bergerak meninggalkan pagi. Aku mendesah berkali-kali, Rangga belum juga sampai padahal kelasku akan segera dimulai.

"Udah janjian belum?" tanya Bunda yang baru saja keluar untuk berangkat ke rumah sakit bersama Ayah.

"Udah, Bun, nggak tahu kenapa tumben banget ngaret lama."

"Mau bareng kita aja?" tanya Ayah bersamaan dengan sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah. Rangga bergegas keluar dan menghampiri kedua orang tuaku.

"Ayah, Bunda, mau berangkat?" tanya Rangga seraya menyalimi punggung tangan Ayah dan Bunda.

"Iya. Tumben Ga kamu telat."

"Iya Yah, makannya buru-buru."

"Ya udah gih, daripada buru-buru lagi mending berangkat sekarang. Hati-hati di jalannya."

Aku mengangguk, berpamitan pada mereka kemudian kami berpisah. Rangga mengendarai mobilnya dengan santai, mencoba menaikkan kecepatan meski dengan kehati-hatian yang cukup tinggi.

"Semalam kamu yang nyuruh aku tidur, sekarang kamu yang kesiangan?"

"Iya, maaf."

Aku mendengus. "Lain kali alarmnya jangan dianggurin, Ga."

"Nanti kalo digodain kamu cemburu."

"Mulai kan aku lagi marah juga."

Rangga menarik jemariku, menyimpannya di atas kakinya dan mengelusnya pelan.

"Berantakan banget, kalo ke kampus itu harus rapi, Ga," ucapku seraya membetulkan rambutnya, dia tersenyum tipis.

"Iya Citra, nanti aku pakai kemeja dimasukin terus rambut yang disisir ke belakang kaya tahun 90an."

"Jangan dong nanti aku dikira jalan sama om-om."

"Om-om mana yang seunyu aku."

"Dih narsis."

Rangga terkekeh pelan. Tatapanku jatuh pada gelas minuman disampingku, aku mengambilnya. Embun dari gelas itu masih menetes dingin membasahi lenganku.

"Kamu mampir Starbucks?"

"Hah?"

"Ini minuman kamu, kan? Kelihatan baru, masih berembun."

"Iya tadi aku haus jadi mampir sebentar."

"Tumben pesanannya bukan yang biasanya."

"Sold out."

"Oh."

Percakapan terhenti, aku menyimpan kembali minuman itu. Tidak biasanya Rangga hanya membeli satu gelas, biasanya dia tidak peduli aku mau atau tidak pasti selalu ingat untuk membeli untukku juga. Entah mengapa akhir-akhir ini Rangga terasa aneh, meski sebenarnya aku juga tidak curiga apapun karena hubungan kami hingga saat ini baik-baik saja, Rangga tetap lelaki yang menunjukkan rasa sayangnya padaku.

Sesampainya di area parkir, Rangga mengelus pelan rambutku kemudian mencium puncak kepalaku. "Semangat, ya? Aku nggak bisa antar kamu pulang."

"Terus nanti aku pulangnya?"

"Sama Zalfa dulu, ya? Gih masuk, kelas kamu mau mulai."

Aku turun dari mobil, Rangga melambaikan tangan kemudian mengendarai mobilnya menuju fakultasnya. Aku mendesah pelan, lagi-lagi Rangga menunjukkan hal tak wajar.

Aku berjalan masuk gedung, masuk ke dalam lift dan menekan lantai lima. Baru satu langkah keluar dari lift, seseorang menabrakku dengan cukup keras hingga buku-buku yang ia pegang terjatuh berserakan.

MengudaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang