Lima - Luka

52 7 2
                                    

Pagi hari yang cerah, aku baru saja sampai di area parkir fakultasku. Jemariku sibuk menghubungi Rangga, aku hanya ingin mengingatkan bahwa dia memiliki jadwal kuliah hari ini meski sedikit siang dibanding aku.

Sudah beberapa kali panggilan namun tidak ada satupun yang terjawab. Akupun menyerah, membiarkan Ibunya yang membangunkan Rangga.

"Citra," panggil Zalfa seraya berjalan mendekat ke arahku.

"Zal, ngapain di depan gedung bukannya ke kelas?"

"Cit, kamu nggak buka hp?"

"Hp? Ini baru buka hp abis telpon Rangga. Kenapa? Kuis dadakan?"

Zalfa melirik sekeliling, membuatku ikut memperhatikan. Aneh, hari ini semua mata seolah tertuju padaku. "Zal, ada yang salah sama aku?"

Tanpa menjawab, Zalfa menarik tanganku masuk ke dalam gedung dengan terburu-buru. Sebelum masuk kelas, Zalfa membawaku ke sebuah laboratorium.

"Ada apa sih, Zal?"

"Kamu beneran nggak tau?"

Aku menggeleng pelan. Perempuan di hadapanku mengambil ponsel di tasnya, menunjukkan sebuah foto. Aku menatapnya.

Rangga mencium kening seorang perempuan yang pastinya bukan aku.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengenali perempuan itu namun tak menemukan jawaban.   Lama aku terdiam, hingga kemudian senyumku mengembang.

"Cit—"

Dengan sedikit tertawa, aku menatap Zalfa membuat Zalfa menautkan kening. "Zal, jadi semua orang di bawah tadi liatin aku karena ini?"

"Memang kamu tau dia siapa?"

"Akusih nggak tau, mungkin saudara jauhnya," jawabku enteng.

"Cit, saudara jauh nggak mungkin sampai cium-cium gini."

"Mungkin aja, Zal."

"Cit, aku sama kakak aku akrab banget sampai dikira pacaran. Tapi kami nggak pernah seintim ini, paling cuma peluk aja itupun cuma di beberapa waktu penting."

Aku masih tersenyum sesekali terkekeh. Mana mungkin Rangga berkhianat, ketika dahulu dia yang berjanji tidak akan pergi? Kalaupun ada yang melukai diantara aku dan Rangga sudah pasti aku orangnya. Rangga pasti hanya lupa tidak menjelaskan tentang hal ini, mungkin semalam dia tertidur karena kelelahan.

"Cit," panggil Zalfa.

"Zal, aku kenal Rangga. Bertahun-tahun kami bersama, ada banyak hal lebih besar dari ini yang kami lalui. Aku yakin Rangga cuma lupa menjelaskan, nanti siang juga dia pasti nemuin aku. Udah, yuk, masuk kelas."

"Citra apa kamu nggak merasa aneh kenapa foto itu nyebar sampai orang-orang tau?"

Aku lagi-lagi tertawa. "Zal, sejak kapan kamu jadi pelupa? Rangga kan banyak yang kenal, banyak fansnya."

Aku menggeleng pelan, menarik lengan Zalfa untuk kembali ke kelas melupakan hal itu. Meski diam-diam sepanjang pembelajaran, aku menunggu setidaknya satu pesan dari lelaki itu. Hingga kuliah selesai, Rangga sama sekali tidak mengabariku bahkan tidak membalas semua pesanku.

"Kenapa liatin hp terus?" tanya Zalfa

"Nggak ada apa-apa, Zal."

"Nunggu penjelasan dari Rangga?"

"Iya tapi kayanya lagi sibuk."

Zalfa hanya mengangguk tak ingin menyanggah, aku yakin sebenarnya sahabatku itu ingin mengatakan banyak hal namun dia memahamiku. Aku akan tetap berprasangka baik sebelum mendapat bukti kuat.

MengudaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang