Lembur

37 2 0
                                    

               "Rafika, aku mau ngomong."

"A.. Apa??" Sudah pasti Rafika tidak tahu harus berbuat apa setelah melihatku. Rafika bertanya kembali dengan suara getar, karena bingung.

"Hal ini aku ketahui baru saja tadi malam. Aku ternyata dijodohkan. Jujur aku merasa fine aja, karena memang itu kemauanku sejak lama. Ketika aku tau bahwa namanya Karim,," Aku belum selesai bercerita, Rafika langsung menyambarnya dengan menyebutkan nama Kak Azhar.

"Karim? Azhar Al-Karim?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku sembari menyeka air mataku yang kutuntut reda.

"Ya Allah. Kamu nggak main-mainkan? Nggak asal menganggukkan kepala kan?"

"Nggak, aku serius. Awalnya juga aku tidak tahu Karim anaknya Pak Hafiz itu adalah Kak Azhar. Sudah terlanjur ku iyakan. Aku bingung bagaimana menolaknya. Aku melihat kepercayaan dan kebahagiaan dari kedua orang tua Kak Azhar dan juga orang tuaku," Aku memalingkan wajahku dari Rafika.

"Nazh, mungkin inilah takdir Allah. Kamu harus terima. Sewaktu kamu jawab iya, itu sejujurnya sudah takdir Allah. Kamu percaya kan tentang takdir Allah?" Aku menganggukkan pertanyaan Rafika. Ketika aku dan Rafika sedang serius mengobrol, terdengar ada yang mengetuk pintu ruangan Rafika, yaitu Ojak. Rafika segera memperbolehkannya masuk.

"Ada apa, Ojak?" tanya Rafika. Aku langsung memutarkan badanku. Aku tidak mau ada orang selain Rafika yang tahu kalau aku sedang dan sering menangis.

"Maaf, Bu Rafika, saya diperintahkan oleh Pak Azhar untuk memanggil Bu Nazhifah. Beliau disuruh ke ruangannya sekarang," katanya. Aku langsung terkejut, mataku terbuka lebar dan tentu saja tanganku mulai dingin. 

"Oh, yasudah. Terima kasih, ya," sahut Rafika sambil mengamati Ojak yang keluar dari ruangannya.

"Nazhifah, buruan gih."

"Kayanya enggak dulu deh, aku belum siap," jawabku datar.

"Lah? Dia bos kita, Nazhifah. Ayo bismillah, perofesional," bujuk Rafika.

"Nggak," bantahku.

"Oh, yaudah kalau gitu aku saja yang keluar dan bilang ke Pak Azhar untuk kemari menemui kamu," Rafika berdiri dari kursinya hendak meunuju ke ruangan Pak Azhar.

"Jangan. Aku saja," Aku menahannya dan aku bergegas menuju panggilan Pak Azhar kepadaku. Aku panggil dia dengan sebutan 'Pak", karena aku menghargainya sebagai atasanku, dan aku harus mengikuti peraturan yang ada di perusahaan ini sama seperti yang lainnya.

               Dan sudah tiada sekat untuk kerinduan ini. Kakiku seperti enggan melangkah, aku berjalan dengan fokus yang melayang. Sama seperti empat tahun lalu. Aku akan melihatnya lalu-lalang di kantor ini, aku akan berbicara lagi dengannya, yang sejujurnya hal-hal ini enggan sekali kuulang meskipun aku rindu kepadanya, bahkan sangat rindu. Sudah, sudah datang yang kutakutkan ketika daun-daun yang bergerak berhenti di henti-hentian bayu. Ini lebih mirip dengan naungan yang menjabarkan kegelisahan akan menganga lebar sekat itu.

               Saat ini aku sudah berada di depan ruangan Pak Azhar. Aku mengetuk pintu dan membukanya secara perlahan. "Permisi," ucapku penuh ragu dan sedikit senyuman. Bagaimanapun dia adalah atasanku sekarang, jadi aku harus profesional seperti yang dibilang Rafika. Aku langsung masuk ke ruangannya dan tak lupa menutup pintu. Aku menatapnya saat ia fokus memperhatikan lalu-lalang kota Medan dari jendela. ia tidak menyahut ucapanku. Aku pun tak berani menatapnya dan memanggilnya. Tak berapa lama kami saling diam, Pak Azhar menyuruhku duduk.

"Duduk, Nazhifah," pintanya. Huh.. aku benar-benar merinding dan aku langsung duduk. Dia membalikkan badannya dan menuju tempat duduknya. Sedangkan aku berusaha untuk biasa saja, menatap ke depan.

Az ZukhrufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang