Inilah Alasannya

32 1 0
                                    

                Aku hanya seorang wanita biasa yang memiliki impian akan menikah dengan seorang pangeran yang yang kelak membuatku bahagia. Yang kelak menghargaiku dengan sempurna, menganggapku benar-benar sebagai Az Zukhruf, perhiasan dalam hidupnya. Namun itu hanya anganku saja sedari kecil, karena sering melihat film barbie. Aslinya tidak seperti itu. 

                 Saat aku menginjakkan kaki di bangku kuliah, aku mengagumi seseorang. Dia bernama Azhar Al-Karim, ketua umum di jurusan ku. Kak Azhar bukan hanya ketua umum biasa, tapi dia juga terkenal dengan ketampanan, kepintaran dan kebaikannya. 

                Di usiaku yang dua puluh dua tahun ini, aku sudah melupakan cinta itu. Akan tetapi dia kembali, dan memaksaku untuk kembali kepada perasaan itu lagi. Apa benar dia jodohku? pantaskah aku bersanding dengannya? Aku rasa tidak. Menurutku, dia terlalu sempurna dengan akhlaknya sekarang. Tutur katanya sangat baik ke semua orang. Bahkan ilmu agamanya sudah tidak diragukan lagi. Bagaimana mungkin aku menginginkan dia yang taat agama? Sementara aku, malas belajar agama. 

"Nazhifah!" panggil seorang yang membuyaran lamunanku.

"Ngapain kamu berdiri di sini?" tanyanya.

                  Aku langsung tersadar yang sedari tadi berdiri mematung di depan pintu ruangan Pak Azhar. Oh, Allah... Malu sekali. Pasti dia mengira kalau aku memperhatikannya. Huh! Semoga saja tidak.

                Seketika aku teringat kotak makan dari Ibu untuk Pak Azhar yang sedang aku pegang. Aku berasa seperti anak tirinya. Akhir-akhir ini Ibu sering menanyakan Pak Azhar semenjak dia mengantarku pulang dari Manhattan. Bahkan tadi pagi, Ibu menyiapkan bekal untuk Pak Azhar.

                 Aku segera menyodorkan kotak bekal itu kepada Pak Azhar lalu dia menerimanya.  

"Itu bekal dari Ibu saya buat Pak Azhar. Oh iya, ada salam dari Ibu saya. Ya sudah, Pak, kalau begitu saya permisi," pamitku.  Aku membalikkan badanku dan segera pergi menuju ruangan Rafika. Namun Pak Azhar memanggilku kembali. "Ada apa, pak?" tanyaku.

"Terima kasih, ya," katanya sambil tersenyum.

"Iya, sama-sama. Ya sudah, Pak. Saya permisi."

               Aku melangkahan kaki berjalan menuju ke ruangan Rafika. Namun sebelum tiba di ruang Rafika, Rafika keluar dan mengajakku ke kantin.

"Eh, Nazhifah, kantin, yuk! Cacing-cacing di perut aku pada demo, nih," kata Rafika terkekeh.

"Yu! Let's go!" kataku.

                 Kami berjalan menuju kantin secara beriringan. Setelah tiba di kantin, aku langsung duduk di atas kursi yang kosong. Setelah Rafika sedang memesan nasi goreng, Rafika menghampiriku dan segera duduk berhadapan denganku. Aku bercerita tentang Pak Azhar kepada Rafika sambil menunggu pesanan kami datang. 

"Raf, menurut kamu Pak Azhar orangnya kayak gimana?"

"Tumben nanya Pak Azhar. Biasanya Alvin."

"Kalau menurut aku, Pak Azhar itu akhlaknya baik, ganteng, pintar lagi. Kamu itu harus bersyukur, Nazh, Allah sudah menjodohkanmu dengan Pak Azhar lewat orang tua kamu."

"Tapi, aku selalu teringat dengan hal-hal yang dulu pernah aku dan Pak Azhar lalui, dan aku nggak cinta sama Pak Azhar, Raf."

"Nazh, cinta itu bisa datang kapan aja. Allah maha membolak-balikkan hati manusia, Nazh. Aku yakin, setelah kamu jadi istri Pak Azhar, kamu jatuh cinta dengan Pak Azhar. Lagi pula, apa salahnya sih kamu terima aja lamaran Pak Azhar?"

               Aku terdiam sejenak mendengar perkataan Rafika. Sementara dia langsung melahap nasi goreng yang sudah tiba.

"Eh, Nazh. Kamu gaperlu mikir lama-lama. Kalau memang belum yain-yakin amat sama Pak Azhar, mending kamu tanya ke orangtuamu, apa alasan mereka menjodohkanmu dengan Pak Azhar," ujar Rafika sambil menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Az ZukhrufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang