Part 1

5 4 0
                                    

"Permisi Dok?" Seseorang masuk ke dalam ruangan bernuansa putih itu.

Orang yang di panggil Dokter menoleh. "Iya?"

"Dokter sudah boleh pulang, jadwal kebetulan tinggal dua lagi. Biar saya yang Handle."

"Ohhh, iyaa. Terimakasih." ucapnya tersenyum manis.

Suster tadi mengangguk tersenyum. "Kalo gitu saya permisi Dok, mari." Ia menutup pintu dan pergi dari sana meninggalkan gadis yang di sebut Dokter itu sendirian.

Gadis tadi menghembuskan nafas panjang. Ia tersenyum sendu, mengingat betapa susahnya dia berusaha sampai bisa di titik ini.

"Nggak nyangka banget," gumamnya.

Ia memandang langit-langit atap ruangannya....

11 tahun yang lalu....

"Adzila pengen sekolah..."

"Tapi nenek nggak punya biaya, kamu sekolah sampe SMP aja. Kerja, biayain adik kamu."

Ia terdiam sedih, ia menatap neneknya berkaca-kaca.

"Jangan malu, kita orang nggak punya. Orang lain pasti ngerti." katanya tersenyum prihatin.

"Yaudah," ucap Adzila pasrah memasuki kamar.

Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya keluar. Ia menangis dalam diam, terduduk di pinggiran ranjang dengan air mata yang masih mengalir deras di pipinya.

"Bunda ... kenapa bunda pergi...?" Ia menghapus air matanya. Merangkak menaiki kasur, memeluk bantal dan mulai menangis lagi. "Aku pengen sekolah ... Dzila nggak mau sampe di sini."

Ia menangis dalam waktu yang sangat lama, hingga akhirnya tertidur sendiri.

"Papay, aku nggak bakalan sekolah." Di sini lah ia berada, di rumah sahabatnya yang selama ini selalu ada untuknya.

Gadis yang sedang meminum air putih itu terbatuk-batuk karena terkejut. "Kenapa?"

"Nggak punya biaya, aku bakalan kerja aja." katanya tersenyum.

"Gue coba bilang papah biar bisa lo sekolah ya?"

Gadis itu menggeleng cepat. "Jangan, aku udah banyak ngerepotin kamu."

"Nggak papa, jujur sama gue lo masih pengen sekolah kan?"

Adzila menatap sahabatnya sedih. "Aku pengen sekolah, aku belum jadi dokter. Belum buktiin ke bunda kalo aku bisa."

Farizah yang mendengarnya jadi menangis. "Iya mangkanya, gue bakalan bilang sama papah."

"Jangan, nggak papa. Mungkin emang takdirnya aku sampe di sini." Ia mengcebikkan bibirnya kedepan. "Kamu di sekolah main sama temen yang bener ya? Kalo ada pelajaran yang bermanfaat jangan lupa bagi-bagi ke aku."

Farizah tak kuat menahan tangisnya ia memeluk sahabatnya dengan sangat erat. "Maaf, maaf nggak bisa bantu lo! Gue jadi temen yang nggak berguna. Maaf." katanya menangis tersedu-sedu.

Adzila jadi ikutan menangis. "Nggak papa, kamu nggak salah. Jangan nangis, aku nggak suka."

Farizah melepas pelukannya ia menatap wajah sahabatnya dengan senyuman. "Jangan sedih, kalo ada apa-apa bilang ke gue, oke?"

"Iya."

"Tapi nanti aku coba bilang sama tante, aku pengen sekolah." katanya berharap.

"Semoga tante lo bisa bantu ya? Maaf gue nggak bisa bantu apa-apa." Adzila hanya mengangguk saja.

"Assalamu'alaikum nek."

"Waalaikumslam," sahut neneknya dari arah kamar. "Kamu dari mana?"

"Rumah Farizah." Ia duduk di kursi sofa. "Tante mau nggak ya, biayain aku sekolah?"

Me And My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang