[5/5]

5.5K 1.1K 565
                                    

PERIHAL NIKAH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PERIHAL NIKAH.

Adakalanya waktu berjalan begitu cepat tanpa terasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adakalanya waktu berjalan begitu cepat tanpa terasa. Berharap segera dewasa, namun kemudian merindukan masa lampau. Berharap anak segera remaja, namun enggan melepas mereka.

(Name) sendiri merasakan bahwa semakin tua, ia nyatanya merindukan setiap kehebohan anak-anaknya. Dia rindu suasana rumah ketika pagi hari membangunkan mereka. Disusul tawa serta canda yang mengisi meja makan.

Kekehan meluncur, kemudian tangannya bergerak mengelus batu nisan. Setiap datang kemari, selalu saja ia diingatkan dengan setiap memori manis dimasa lampau.

"Kek, (Name) kangen mereka waktu kecil. Shin udah tiga puluh tahun tapi belum juga nikah. Manjiro makin nakal, sekarang kerjaannya bikin geng baru. Kalau Emma ... kayaknya sebentar lagi dia bakal nikah."

Kurva yang terukir terlihat begitu lembut. Netranya memperhatikan makam keluarga Sano. Pandang berubah sendu. Bersama dia yang menahan tangisnya mati-matian. Setidaknya, ia tak boleh terlihat begini di depan ayahnya.

"Aku ngerasa udah mulai jauh juga sama mereka. (Name) udah berumur, Kek. Tapi daripada itu ... "

Semilir angin menyapa permukaan kulit. Dielus serta berkata bahwa tak masalah bila tengah berduka. Waktu tak akan berhenti bahkan bila kita ingin. Akan terus bergerak, berjalan, serta bersuara.

Sebab semesta tidak hanya ada untuk dia.

"... aku belum siap berpisah dengan mereka."

•••

"Bunda? Kakak pulang."

Shinichiro melangkah masuk. Menutup pintu shoji, sebab udara mulai terasa dingin. Dia masih sendiri bahkan ketika usianya mencapai kepala tiga. Kendati begitu, Shinichiro tetap tinggal bersama (Name). Menemani ibunya agar tidak kesepian tinggal di rumah peninggalan kakek.

Puan yang tengah merajut di atas sofa menoleh. Tersenyum hangat menatap putra sulungnya yang berjalan mendekat.

"Shin? Pulang cepet? Sekarang masih jam delapan."

Shinichiro mengangguk. Kemudian melepas jaket dan melemparnya ke sofa seberang. Tidak duduk, melainkan melangkah ke kamar. Kemudian datang kembali dengan selimut pada tangan.

Taruna menyampirkan selimut kecil pada bahu ibunya.

"Musim dingin Bun. Ntar sakit."

(Name) tertawa. Kemudian menggelengkan kepalanya. Kendati begitu, tak menolak akan hangat yang disalurkan.

"Tadi Kakak dapet kabar. Katanya Emma bakal datang ke sini. Kalau Mikey, ada kumpul bentar sama temennya."

"Bonteng?"

"..."

Shinichiro tersenyum miris. Entah ingin tertawa atau menangis.

Bonteng ...

"Namanya Bonten, Bun."

•••

Suasananya begitu hangat. Ditambah hadirnya tiga putra putri yang dicinta, menemani (Name) yang kian menua. Bersama, tak meninggalkannya.

Membuat sang ibu agaknya senang. Menghargai setiap detik waktu yang berjalan bersama dengan mereka.

Emma memang tak lagi bersikap begitu manja. Membuat sang ibu merindukan sedikit banyak masa kecilnya. Meski begitu, Emma masih senang apabila (Name) mengepang rambutnya. Seperti sekarang.

"Emma, udah mikirin masalah pernikahanmu?"

Taruni mengangguk pelan. Kurva melengkung pada paras eloknya.

"Emma pengen nikah sama orang yang mirip bunda!"

(Name) terkekeh. Kemudian tersenyum jahil, ketika melirik paras putrinya yang samar dari belakang.

"Emma sayang, emang Bunda mirip Draken?"

Shinichiro yang sedang tiduran di atas karpet bulu tertawa. Ia kini bangkit untuk duduk, kemudian memandang remeh adiknya.

"Idih! Padahal seminggu yang lalu dilamar sama Draken."

Manjiro yang sedang mengunyah dorayakinya mengukir senyum.

"Yakali Bunda mirip Draken. Jadi berbadan kekar, gagah dan perkasa gitu?"

Emma mendengus kesal.

"Gak gitu."

"Ciee mimpinya jadi bride bentar lagi nyata!"

Si gadis berdecak, kemudian berteriak malu.

"Abang diem ihh!"

(Name) terkekeh, kemudian melanjutkan kepangan selagi diri bertanya.

"Kalau Shin gimana, gak mau nikah?"

Shinichiro menaikkan alisnya.

"Kan udah bilang gak mau. Belum nemu jodoh."

Sang ibu beralih menatap Manjiro.

"Manjiro gak nikah?"

Taruna yang mengunyah dorayaki berpikir sejenak.

"Nikahin yang nulis ini boleh?"

(Name) melotot, kemudian melemparinya sisir.

"Jangan! Nanti yang nulisnya kena gebuk massal!"

Manjiro mengedikkan bahu.

"Ya udah gak mau nikah. Pengen jomblo."

Shinichiro menoleh, menatap Manjiro yang kini memiliki tato dileher. Mirip motif antingnya Izana.

Dulu, Manjiro kalah pas main kertas gunting batu sama Izana, dan berakhirlah Izana yang nyuruh dia buat tato sama kayak antingnya. Karena gak mau menderita sendiri, Manjiro jadinya nyuruh anggota Bonten lain ditato juga.

"Kamu rambut diwarnain putih-putih, biar apa? Biar keliatan tua?"

(Name) agak tersinggung mendengar kata tua, namun tetap diam. Memperhatikan Manjiro yang kini memicingkan matanya.

"Kupukul dadamu sampai bunyi dorakengkung tau rasa."

Sang ibu menggelengkan kepalanya, saat Shinichiro dengan emosi melemparkannya bantal. Manjiro mengelak, menghindar ke arah meja dan berakhir menyenggol gelas. Membuat isi susu coklat milik Emma tumpah ke rok si gadis yang duduk di lantai. Alhasil Emma menjerit dan mengejar Manjiro yang kini kabur. Membuat kepangan yang belum selesai kini terurai lagi.

(Name) terdiam. Memperhatikan rumahnya yang membali ramai.

Suasana hangat, dengan keluarga yang lengkap. Akan sempurna bila kakek ada di sana.

(Name) tak marah, melainkan tersenyum. Menikmati serta menghargai waktu bersama mereka. Anak-anaknya, serta hidupnya.

Yang ia cinta bahkan sampai akhir hayat.

•••

2 September 2021

©Lemo_Ra

-end

𝐌𝐎𝐌! sanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang