***
"Apa salahku? Jika aku mengharapkanmu untuk menjadi milikku? Apa salahku, jika aku memintamu pada Allah? Apa salahku jika namamulah yang aku sebutkan di sujud terakhirku?
Cobalah mengerti, hatiku memilihmu. Hatiku menginginkan sosok sepertimu. Jika pun bisa, maka aku akan meminta pada-Nya agar menciptakan sosok lain yang mirip denganmu.
Egois memang, tapi itulah takdir yang harus kuterima dan jalani.Tugasku adalah menjalaninya dengan ikhlas, dan tugasmu adalah bersikap seolah-olah aku dan perasaanku ini tidak ada."
.
~Arini Aisyah~~~~~
Cinta? Rasanya aku terlalu naif, jika menyebut ini sebagai cinta. Rasanya aku terlalu kekanakan, jika memandangmu dari kejauhan dan menyebutnya sebagai cinta. Rasanya aku tak pantas untuk menyebutnya cinta.
Itu hanyalah obsesiku. Melihat rupamu yang rupawan, melihat imanmu yang menawan. Rasanya itu hanyalah obsesiku belaka.
Allah, maafkan aku, dengan lancang aku menyebut namanya agar menjadi tambatan terakhirku. Ampuni aku.
Aku ingin kisah cintaku seperti Fatimah Azzahra, yang setan pun tidak mengetahui kerahasiaan cintanya untuk Ali bin Abi Thalib.
Tapi apalah dayaku hanya seorang wanita biasa, yang dengan lancangnya meminta dia menjadi milikku. Aku hanyalah wanita biasa.
Cintaku tumbuh, semakin tumbuh. Saat itu kita masih sama-sama menjadi siswa sekolah menengah pertama. Aku hanya berani menatapmu dari kejauhan.
Dengan pandangan yang kau tundukkan, dengan jarak yang kau berikan, aku mencintaimu.
"Kamu boleh bicara samaku, tapi jangan terlalu dekat. Aku udah baligh, nggak boleh dekat-dekat dengan yang bukan mahram," ucapmu kala itu pada adik kelas yang ingin bertanya padamu.
Lagi-lagi aku terkagum. MasyaAllah, di zaman sekarang ternyata masih ada laki-laki sepertinya.
Juga pada kesempatan kita dipertemukan pada sebuah olimpiade, kau dan aku bersanding demi untuk mengharumkan nama sekolah. "Berdoa sama Allah, sungguh tiada satu pun kejadian tanpa kehendak-Nya. Kamu bisa duduk di sini, dilihat banyak orang, juga kehendak-Nya," bisikmu kala itu padaku yang gugup.
Lagi-lagi aku terkagum. Rasa cintamu pada Allah membuat obsesiku untuk memilikimu.
Aku lagi-lagi bersujud pada-Nya demi untuk mengadu agar aku mendapatkanmu sebagai jodohku. Egois memang, tapi itulah kenyataannya.
Hingga saat perpisahan sekolah. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihatmu sekali pun. Kau seolah hilang ditelan bumi entah ke mana.
Lagi-lagi aku menangis pada-Nya. Mengadu, mengapa Dia memberiku cobaan? Setidaknya aku dapat melihatmu dari kejauhan. Sekarang, hanya kenangan. Aku mengadu, kenapa Allah membiarkanmu menjauh. Apa karena Dia cemburu? Secara sadar aku terlalu mengejar ciptaan-Nya.
Tapi, lagi-lagi obsesi mengalahkanku. Aku kalah.
Untuk beberapa saat aku banyak merenung. Mengingatnya, bagaimana dia beraktifitas, bagaimana dia bersenda gurau dengan teman-temannya. Aku membayangkannya.
Astagfirullah, kembali aku beristigfar, aku berdosa.
Tapi dosa itu entah kenapa selalu aku ulangi dan kembali beristigfar kembali.
Hingga saat di mana kenyataan pahit menimpaku. Abi menjodohkanku dengan anak temannya yang sama sekali tak pernah aku bayangkan akan terjadi.
Percayalah, aku masih menunggunya. Laki-laki sholeh yang masih aku minta kepada-Nya. Beginikah cara Allah agar aku tidak berlarut-larut dalam dosa?
Aku mencoba menerima lelaki yang dijodohkan denganku. Walaupun rupanya sampai saat ini belum ku ketahui. Yang kutahu dari abi, laki-laki itu sedang berada di luar negri.
Entahlah, aku berharap agar dia tak kembali, dan perjodohan itu terjadi. Semoga Allah mendengarkan doaku.
Tapi, perjodohan itu tetap terjadi. Laki-laki itu kembali, pulang ke negri ini. Aku mendengar beberapa orang datang bertamu. Jantungku berdetak tak karuan. Telapak tanganku basah akan keringat yang membanjiri.
Berkali-kali aku menarik napas dalam. Sudah aku katakan aku tak menginginkan perjodohan ini. Sudah banyak kali cara yang aku upayakan agar perjodohan ini dibatalakan. Tapi sia-sia. Abi terlibat janji dengan temannya itu.
"Arin, ayo, Nak. Calon suamimu sudah menunggu."
Jantung ini rasanya ingin merosot hingga sampai pada lambungku. Tibalah saatnya aku akan melihat wajah calon suamiku.
Ya Allah, mampukah aku?
Tapi! Seperti melayang hingga langit ke tujuh. Aku seperti mimpi. Beberapa kali aku mencubit lenganku demi memastikan ini kenyataan ataukah halusinasiku belaka. Ternyata sakit, ini kenyataan.
Beberapa kali ku yakinkan agar aku segera terbangun jika ini khayalanku saja. Tapi kenyataan itu memang benar adanya.
Doaku terkabul. Allah mengabulkan doaku.
Calon suamiku, ialah orang yang selama ini namanya aku sebutkan di sepertiga malamku.
Dia kakak kelasku sewaktu sekolah menengah pertama.
Dia adalah orang yang selalu aku pandang dari kejauhan.
Dia adalah Ali bin Abi Thalibku.
Dia Adam. Laki-laki sholeh yang dengan lancang aku minta pada Allah agar menjadi milikku, kekasih halalku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Surgaku (Selesai)
EspiritualTentang aku, dia, dan perasaanku. Tentang cintaku yang bertepuk sebelah tangan. Aku yang menepuk berkali-kali tapi tak kunjung terbalaskan. Dia, Adam. laki-laki sholeh dengan sejuta pesonanya yang lagi-lagi membuatku jatuh cinta berkali-kali. Tetap...