Selamat malam minggu. Seperti janjiku sore tadi, aku upload part 1 yah. Maaf kalau part selanjutnya agak lama, tapi aku tetap usahakan.
Silahkan tinggalkan jejak. Happy reading
💗💗
Georgiana menghela napas lelah ketika kedua matanya terbuka pagi ini. Ia menatap langit-langit kamar yang kini ditempatinya dengan perasaan tidak yaman.
Bukan tanpa sebab Georgiana merasakan hal itu. Pasalnya ia tidak sedang berada di kamarnya di Skotlandia, melainkan di salah satu kamar di townhouse keluarga Spencer yang ada di London. Tempat yang sebenarnya sangat tidak ingin di datangi Georgiana lagi dalam hidupnya.
London atau lebih tepatnya Inggris menyimpan begitu banyak kenangan menyakitkan bagi Georgiana. Di tempat ini kehidupan menyedihkan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya terjadi padanya. Kehilangan kesempatan menikah untuk selamanya dan juga mendapat julukan paling menyakitkan dalam hidupnya.
Pembawa sial. Pembawa bencana. Pembawa kutukan.
Georgiana tahu ada lebih banyak lagi julukan yang disematkan orang-orang pada dirinya. Tapi diantara semua itu, Georgiana pikir ketiga julukan tadi adalah julukan yang paling mendekati kebenaran mengingat bagaimana awal mula semua kutukan itu disematkan padanya.
Pembawa sial, pembawa bencana dan pembawa kutukan.
Hal itulah yang melatarbelakangi Georgiana meninggalkan Inggris atau lebih tepatnya melarikan diri dan menetap di kampung halaman sang Mama di Skotlandia. Memilih tinggal seorang diri, jauh dari keluarga dan kerabat demi menghindari pergunjingan yang menimpa keluarganya.
Berat memang, tapi Georgiana tidak sanggup jika keluarganya ikut terseret karena dirinya dan menjadi cemoohan orang-orang. Cukup sang Papa yang meninggal karena terus memikirkannya, Georgiana tidak ingin ada orang lain yang meninggal lagi karena dirinya.
Orang-orang sering kali mengatakan bahwa lari dari kenyataan adalah hal paling pengecut yang dilakukan manusia dan Georgiana tidak menampik hal itu. Ia memang pengecut. Keputusan yang diambilnya di masa lalu merupakan bukti betapa pengecut dirinya. Apa yang terjadi pada hidupnya benar-benar membuatnya terguncang dan Georgiana tidak ingin hal yang sama kembali terulang.
Georgiana menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan kesal. Jika bukan karena permintaan sang Mama, ia tentu tidak akan kembali ke London dan berburu calon suami seperti wanita-wanita bangsawan lainnya. Meskipun pada akhirnya tidak akan ada satu orang pun yang memilihnya. Ia yakin, semua orang tahu siapa dirinya.
Dengan enggan Georgiana bersandar di atas kepala ranjang ketika mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk. Tidak lama setelahnya, Martha sang pelayan pribadi masuk, meminta izin untuk menyiapkan air mandinya diikuti beberapa pelayan lain yang membawa air hangat untuknya.
"Air mandi anda telah siap, My Lady," Martha berdiri di pinggir ranjang. Bersiap membantu Georgiana yang akan memulai paginya dengan membersihkan diri.
"Aku akan mandi sendiri, Martha. Aku ingin berendam sebentar. Kau bisa menungguku di sini dan siapkan pakaian yang akan aku kenakan nanti."
"Baik, My Lady."
Martha langsung menyingkir dan menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Georgiana, sementara sang Majikan berjalan menuju kamar mandi. Melakukan ritual paginya dengan berendam air hangat.
Georgiana butuh waktu. Bukan untuk berpikir atau menyesali keputusan yang saat ini diambilnya karena ia tahu penyesalan tidak akan mengubah apa pun. Keputusan sudah diambil dan kini saatnya ia menjalaninya. Demi sang Mama yang sudah tidak lagi muda. Ia butuh waktu untuk menguatkan diri menghadapi segala kemungkinan yang nanti akan terjadi padanya.