II. The Lonely Bridge

1 0 0
                                    

Mata ungu Violette tidak pernah lepas dari tiga gundukan batu, selama upacara pemakaman Helian Oken yang dilakukan oleh orang orang kerajaan.

Satu satunya keluarga yang Violette miliki, kini telah pergi. Bagaimana bisa kakaknya tega meninggalkanya seorang diri. Kenapa tidak mengajaknya pergi, kenapa harus Violette yang ditinggal. Apakah sepenarnya ayah, ibu dan Helian tak menginginkan Violette?

"Violette, waktunya pulang," ujar Ester persis seperti 15 tahun yang lalu.

"Aku tak punya siapa siapa sekarang"

Setiap kalimat yang Violette ucapkan di tempat ini, selalu berhasil menyayat hati Ester. Bagaimana takdir bisa sejahat ini kepada Violette. Sebagai bibi sekaligus ibu sambung Violette, Ester paham apa yang dirasakan Violette.

"Kau masih punya bibi, Seraphina dan paman Violette. Jangan pernah kau berkata begini, bibi akan selalu ada untukmu," ujar Ester yang bahkan terlihat lebih lemah dari pada Violette.

Sepulangnya dari pemakaman Helian, Violette tak kunjung keluar dari kamarnya. Ester sudah berkali kali mengajak Violette untuk makan malam, tapi selalu ditolak oleh gadis itu.

"Violette, lihat aku bawa sup jangung kesukaanmu," ujar Seraphina yang bersedia untuk membujuk Violette makan.

"Ini ibu sendiri yang memasaknya, kau sangat suka kan sup jagung buatan ibu"

Violette melihat semangkuk sup jagung yang harumnya kini memenuhi kamarnya. Namun sayangnya wangi sup jagung itu tak menggugah seleranya sama sekali.

"Terima kasih Seraphina"

Violette menerima makanan itu. Bagaimanapun juga dia harus menghargai usaha Seraphina dan Ester yang telah meluangkan waktunya hanya untuk sup jagung kesukaan Violette.

Seraphina duduk manis disamping saudarinya angkatnya. Gadis berambut pirang itu memastikan Violette menghabiskan makananya.

"Vio," pangilnya ketika gadis itu sudah berhasil memasukan suapan terakhirnya.

"Iya?"

"Aku tau ini berat, kau boleh menangis, jangan ditahan sendiri"

Tubuh Violette melemas, air matanya jatuh begitu saja tanpa aba aba. Dengan sigap, Seraphina menopang tubuh itu dan membawanya ke dekapanya.

Semenjak kehadiran Violette dan Helian di rumahnya, Seraphina merasa tersingkirkan. Ibunya itu terlihat lebih dekat dengan Violette dari pada dirinya, sedangkan ayahnya terlalu asyik menghabiskan waktu bermain pedang dengan Helian.

Seraphina kecil merasa Violette dan Helian telah merebut kebahagiaanya. Tapi sekarang Seraphina mengerti, kenapa ibunya sangat menyayangi Helian dan Violette. Kehilangan orang yang disayang itu sangat menyakitkan, apalagi Violette sekarang sendirian.

***

Malam itu rasanya begitu panjang dan hampa. Otak Violette kembali memutar ingatan menyedihkan itu. Bau anyir keluar dari sebuah kereta kuda dan saat dibuka, banyak cipratan darah yang menempel di kereta. Di bagian sekat kursi dengan kayu pembatas terdapat seonggok mayat dengan banyak tusukan di dada dan perut, bahkan hingga usus ususnya terurai keluar.

"Kakak!"

Violette terbangun dengan keringat disekujur tubuhnya. Gadis itu melihat jam yang terpasang di kamarnya.

"Masih jam 2," gumamnya kecil. Benar benar malam yang panjang.

"Tunggu aku kak, aku akan menyusulmu," gumamnya, sambil memakai jubah hitam pemberian Helian.

Violette mengendap endap dari kamarnya turun kedapur. Disana ada pintu kecil menju kandang kuda. Violette bisa dengan mudah mekewati pagar pembatas di kandang kuda dari pada lewat pintu depan.

When The Violet Has BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang