Naka berjalan riang membuka pintu ruangan Banu, dengan secangkir teh dan plastik putih tulang berisi obat pesan sang ayah, wajah yang semula tersenyum lembut itu meredup kala Banu mendongak menatapnya. Dia punya rencana licik untuk membujuk Banu, menampilkan wajah memelas agar Ayahnya bisa luluh.“Ayah!” Sapa nya, sayangnya Banu langsung mengalihkan perhatian, Naka tanpa sadar merengek. “Ayah, ish! Liat dulu, aku bawain teh Kamomil.”
“Ayah lagi ngopi,”
“Kopi gak baik buat lambung Ayah, ganti dengan teh, Naka udah buat.”
“Udah kenyang sama kopi, teh nya buat kamu saja.”
Naka ngelus dada dengernya, “yah... Lihat muka Naka, udah kaya kucing kecebur got. Melas banget, yah. Gak ada niatan gitu, hibur Naka.”
“Ayah lagi baca, kamu ganggu.”
“Naka belum makan siang hari ini, gak mau temenin?”
“Jangan terlalu kekanak-kanakan. Kamu udah gede, harusnya bisa jaga kesehatan sendiri. ” Ucap Banu tanpa mengalihkan pandangannya dari jurnal.
Wajah Naka bukan lagi memelas, tapi berkat perkataan ayahnya dia sudah menitihkan air mata. Ini pertama kalinya Banu bersikap seperti ini, sefatal itu kesalahan Naka sampai Banu puasa ngomong begini.
Jika kebanyakan orang memperebutkan masalah cowok dengan teman ataupun sahabat, maka Naka agak Laen dia dengan Banu, ayahnya.
“Menolak menjalin hubungan berarti kamu harus hidup mandiri, ubah kebiasaan kamu mulai sekarang. Karena apa? Karena ayah gak selamanya ada buat kamu.”
Ayahnya tetap ngotot Naka jalani hubungan dengan pria pilihannya, apa yang harus dia lakukan? Mau tidak mau kepalanya mengangguk pelan. Mengundang perhatian Banu untuk meliriknya, dan tanpa sepengetahuan Naka pria berusia 58 tahun itu tersenyum tipis.
Naka sudah terisak dramatis, berlari ke pelukan sang Ayah seraya berujar.
“Kasih Naka waktu tiga bulan buat memilih, aku bingung.”“Tiga bulan?” Beo Banu, Kedua alisnya mengkerut tak setuju, terlalu lama. Jika bisa langsung nikah kenapa enggak, gak usah pacaran, dia merubah niat awal.
“Yah, aku gak mau gegabah. Cepat atau lambat Ayah pasti suruh aku nikah, kalo semisal aku pilih asal mereka, terus di pertengahan jalan kita gak cocok. Siapa yang rugi, aku. Waktu aku terbuang buat urusi hal gak jelas, jadi beri aku waktu.”
Banu mengangguk, “Dua Minggu?”
“Gak sekalian aja nikah besok?” Sinis Naka, Banu terkekeh.
“Deal. Tiga bulan, tapi harus dengan satu syarat.”
Naka sudah was-was, karena tahu dalam sekali lihat wajah ayahnya yang tengil minta getok, gak inget umur.
“Kalo susah mending aku cari ayah baru aja,” Peringatnya.
Banu tersenyum manis, sangat manis. Namun Naka yang melihatnya justru agak creepy. “Cuti selama tiga bulan, setiap hari harus masak kasih makan siang buat Samuel dan Artama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGANTARA
ChickLitNew version dari 'The Perfect Boss' --- Karena tidak bisa menolak keputusan Ayahnya, Naka harus memilih kedua anak laki-laki dari keluarga Magantara. Keluarga yang paling dia segani karena terus berseliweran di media, entah karena prestasi atau hany...