Manuskrip tentang Kukila

295 59 10
                                    

"....dan jika ini memang sebuah kisah cinta seperti cerita-cerita Disney, maka penutup di akhir ceritanya adalah ... dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya. Akan tetapi, kisah cinta ini bukan kisah klasik dan klise semacam itu. Punai, seperti namanya yang diambil dari seekor burung dengan warna bulu bagai pelangi, terus mengepakkan sayap mimpinya ke cakrawala tertinggi. Hidupnya tak lagi soal hitam dan kelam. Hatinya sembuh dari sakit yang menjangkit. Punai menjadi pemenang atas segala perlombaan ihwal luka dan perjuangan.

Adapun Padi, seperti peribahasa yang diagungkan orang-orang bijak, semakin berisi, semakin pula ia menundukkan diri. Ia yang tak pernah meninggikan hati tanpa membuat kesan menjadi seorang yang rendah diri. Kepada Semesta, ia senantiasa mengucapkan syukur karena mengabulkan cita-cita yang tak lagi menjadi asa. Kepada Padma, ia berterima kasih karena bersedia membersamai di setiap fase dalam hidpnya. Kepada Punai, ia ... kehilangan kata-kata. Punai menjelma segalanya. Yang membuatnya merasa ikut terluka, yang membuatnya menatap langit dengan warna yang tak lagi sama, yang mengajarinya bahwa hidup tidak sesederhana yang ia kira, yang ... memapah jalan buntunya untuk kembali mengetuk pintu bernama Cinta.

Pada akhirnya, baik Padi dan Punai sama-sama menemukan akhir bahagianya. Punai menjadi dermaga tempat kapal Padi yang berlayar terpaut sempurna. Di sanalah, di pantai dengan ombak berbuih harap dan senjakala yang mengirimkan cahaya cinta, mereka memulai kisahnya. Punai dan Padi. Dua kutub berbeda yang sama-sama lelah akhirnya menyerah untuk menjadi rumah—atau dua buah rumah. Apapun sebutannya, mereka mensyukurinya.

Dan beginilah kisah mereka berakhir.

Ralat.

Kisah mereka tidak pernah berakhir, sebab cinta sejati tidak pernah menemui kata usai atau selesai—juga jeda untuk sekadar rehat dan menuliskan kata tamat. Maka kalimat yang tepat untuk kisah mereka adalah ... dan mereka hidup bahagia selama-lamanya—selama mereka mensyukuri apa yang telah mereka punya."

Setelah Bunda membacakan halaman terakhir novel berjudul Padi, Punai, dan Rumah di Tepi Pantai karya terbarunya, satu senyuman tulus terbit di bibirnya yang tipis. Sunyi sempat mengisi beberapa detik sebelum akhirnya Bunda menatapku lekat kemudian berkata, "Belum dan tidak akan pernah selesai."

Aku mengangguk dan ikut tersenyum kecil. Tidak ada alasan bagiku tidak ikut tersenyum dan merasa bangga memiliki Bunda sebagai seorang perempuan yang menjelma malaikat tanpa sayap dalam hidupku. Bunda bukan hanya seorang ibu yang melahirkanku. Jauh dari itu, Bunda adalah pencerita yang selalu menghadirkan cinta dalam setiap tulisannya. Bunda adalah penyair terbaik yang menyelipkan doa dalam setiap puisinya. Bunda adalah perempuan dengan segudang kisah yang berhasil menciptakan kisah-kisah indah.

"Novel kali ini ... diambil dari kisah nyata yang dialami Bunda, ya?" Aku bertanya langsung ke inti. Sejak mengetahui adanya tokoh bernama Padma—yang merupakan nama asli Bunda dalam cerita—aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Sepertinya, buku yang Bunda tulis kali ini mengisahkan orang-orang yang pernah mengisi hari-hari Bunda di waktu lalu.

Bunda menutup draf novel di tangannya, meletakkannya di atas meja ruang keluarga tempat saat ini kami duduk, lalu tersenyum sekali lagi. "Setiap cerita lahir dari kegelisahan. Dan kegelisahan lahir dari kenyataan yang dialami diri sendiri atau orang di sekeliling tempat kita hidup. Padi, Punai, dan Rumah di Tepi Pantai adalah kisah yang lahir dari kegelisahan, kerinduan, serta kenangan Bunda saat beranjak dewasa ... tepat saat Bunda berada di posisi usia kamu saat ini. Tapi tidak semua narasi dan dialognya sama dengan kejadian waktu itu. Penulis cerita fiksi bebas mengubah tokoh, alur, konflik, bahkan akhir cerita yang dia buat agar berbeda dengan kenyataannya. Yang paling penting adalah tidak mengubah pesan yang ingin Bunda sampaikan."

Aku menggumam pelan. "Dan apa pesan yang ingin Bunda sampaikan?"

"Menurut kamu?"

Aku mengernyit, berpikir sebentar. "Tentang ... jati diri, pilihan, dan menjatuhkan kepercayaan kita kepada seseorang," balasku pendek. Setelah mendengar jawabanku, mimik wajah Bunda terlihat belum cukup puas. "Maksudku, hidup itu 'kan soal pilihan. Termasuk pilihan saat kita saat memilih orang yang akan kita percayai. Di novel itu, aku akhirnya paham bahwa masalah Punai, Padi, dan uhm ... Padma, bukan hanya kisah keluarga mereka yang pelik, tapi juga karena ketiga tokoh ini yang masing-masing menutup diri dan merasa takut menentukan pilihan siapa orang yang akan mereka percayai. Mereka bertiga sama-sama menganggap bahwa setiap orang sudah cukup memiliki beban masing-masing dan tidak mau bersandar kepada siapapun untuk meringankan beban mereka. Padahal sejatinya, manusia butuh sandaran selain Tuhan. Maksudku, Tuhan mengambil peran yang sangat besar saat kita mengadahkan tangan, tapi manusia juga punya andil yang besar untuk memberikan pelukan," jelasku panjang. Samar-samar, aku melihat Bunda tersenyum sangat tipis.

Kisah tentang KukilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang