Senyum Itu..?

127 8 2
                                    

Biasanya, aku hanya menatap dari balik kaca... Mencoba diam mendengar angin menyampaikan kisah mereka.

Tapi hari ini, aku membaca langsung surat - surat kerinduan langit pada bumi.

Setiap tetesnya mengandung keindahan. Aku kuyup oleh kebahagiaan.

Bumi, adakah yang lebih menawan di dunia ini selain cara langit mencintaimu?

***

Bel tanda berakhirnya jam pelajaran telah berakhir. Hari ini sama seperti hari biasanya, Dian harus berpikir keras. Semakin hari semakin keras, dan menyakitkan.

Sejak tadi Dimas hanya mengajak anjani berbicara, tanpa sekalipun mnghiraukan kehadiran Dian Paska.

Dian merasa tidak nyaman, entahlaha apa yang merasukinya kini. Tapi setelah bel pulang sekolah, ia ingin segera meninggalkan keduanya yang masih asik berbincang, sekalipun ada rasa penasaran yang tak bisa dikendalikan.

"Anjani, aku duluan yah." Ujar Dian dengan denyum yang ia buat semanis mungkin kepada sahabatnya.

"Ngga pamitan sama kakak?"

"Hah? Ahh, iya aku pulang dulu." kata Dian dengan salah tingkah

"Aku, pulang dulu Anjani. Aku ngga mau adikku ini diganggu kucinh dijalan." Ujar Dimas dengan candanya

"Iya, jaga Paska yah Dim. Jangan sampe diganggu kucing." Anjani dengan nada menggoda

"Anjani! Sejak kapan kamu manggil aku paska?" gerutu Dian

"Ayo pulang, nanti kakak jelasin." Dimas dengan menggengam tanganku

"Taukah kamu apakah yang aku rasakan saat ini? Seperti melihat jutaan bintang sirius dalam cuaca buruk. Tidak akan bertahan lama memang, tapi aku menikmatinya."Guman Dian dalam hati

Dalam perjalanan pulang, Dimas asik mengayuh sepedanya tanpa mempedulikan Anjani yang sedang memperhatikan langit, sepertinya langit mengetahui hatinya bahagia. Langit menurunkan rintik-rintik kebahagiann yang menjadi kesukaan Dian Paska.

"Ka, gerimis." Dian yang langsung melentangkan tanganya dan berkata nada kegembiraan

"Ayo, kita main dulu di taman." Ajaknya dengan mencari tempat untuk memakirkan sepeda miliknya.

Dian turun dari sepedanya, berlari menuju area taman kompleks yang terlihat sepi.

"Gerimis!" teriak Dian dengan senyum lebarnya.

Senyum langka yang dicetaknya tanpa sengaja, mencerminkan kedamaian.

Dian merasa begitu damai ketika ia merasakan gerimis yang menjelma hujan. Dian berharap kepergiannya nanti, di iringi oleh musik alam dan aroma tanah. Kedamaian aroma tanah yang membuat siapapun merasa tenang karena menghirupnya.

Dian seperti penari dalam film india yang berputar-putar untuk menikmati gerimis yang mulai turun menjadi hujan, entah berapa kali ia meneriakan kata hujan dan petrichor dengan senyum menggembang.

Hal itu sontak membuat Dimas merasa bahagia, ia kembali untuk Dian Paska gadis kecil yang sedari dulu ia jaga. Ia merasa Paska kehilangan senyumnya, tidak ada senyum menggembang dan tawa lepas dari dirinya. Yang ada hanya wajah pucat dengan tingkat keseriusan yang menjadi-jadi, mungkin karena Dian saat ini adalah Dian yang menghabiskan waktunya hanya untuk belajar.

Dimas masih duduk di bangku taman dan memandangi gadisnya yang sedang berputar-putar dengan tatapan bahagia.

"Loh de, kamu kenapa? Udah jangan muter-muter lagi." Dimas dengan sigap menuju ke Dian dan memegangi pinggan Dian sebelum tubuhnya mencium tanah

Goose's DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang