Ajarkan aku menjadi naif. Senaif dirimu yang masih bisa tertawa. Senaif kebahagiaan kita berdua. Karena setiap detik dikala kenyataan mulai bersinggungan. Aku rasakan sakit yang nyaris tak tertahankan. Atau ajarkan aku menjadi penipu, apabila ternyata kau merasakan sakit di dalam tawamu.
-Dian Paska, 24 April 2015-
-------------------------------------
Dian's Pov
Entah sudah berapa lama aku melewatinya. Rasanya kemarin masih terlalu sesak di dada menerima kenyataan pangeran kecilku berubah menjadi kakak sang putri kapas. Tapi kini, melihat mereka berjalan beriringan dan tertawa lepas justru membuatku mengukir senyum kebahagiaan.
Saat ini aku kehidupanku jauh lebih baik dari beberapa bulan lalu. Kau tahu kenapa? Karena bunda, mengajarkanku agar bersahabat dengan takdir.
Kamu tahu bersahabat dengan takdir ternyata sangat menyenangkan, memang ada harga kekecewaan yang harus dibayar pada awalnya. Tapi ada yang harus kamu tahu, terkadang pilihan terbaik adalah dengan menerima pilihan tersebut, apapun itu. Percayalah, waktu tidak akan merawat lukamu.
Meski senyumnya masih samar, tatapannya masih dingin, dan sikapnya masih terlalu apatis. Aku tahu, ayah pasti lebih dari menyayangiku. Aku hanya perlu lebih memahami dengan waktu, kelak entah kapan aku pasti mampu mengembalikan senyum dan sikapnya.
Setelah berpamitan kepada seluruh penghuni rumah, aku dan kak Dimas bersepeda menuju sekolah. Masih seperti dulu aku yang selalu memboncengnya, bedanya saat ini tidak ada lagi rasa sakit yang menyelimuti. Mungkin lebih baik begini, berada di belakangnya bukan beriringan denganya. Setidaknya aku tidak perlu memaksakan memalingkan wajahku untuk sekedar menatapnya.
"Kak, nanti kakak pulang duluan aja yah. Kayanya aku mau ngelembur di perpus deh." tanyaku
"Boleh. Tapi, jangan melebihi jam 4 yah." jawabnya dengan senyum mengkhawatirkan
"Okeh makasih kak."
"Iya de, nanti kakak jemput."
Seperti itulah kak Dimas, dia benar-benar menepati janjinya untuk menjadi kakak yang baik untukku juga Maudy.
Pelajaran dan tugas hari ini tidak begitu menyulitkan kerja otakku. Jadi, hanya butuh dosis pill biru yang tidak sebanyak biasanya.
Kini aku berada di perpustakaan. Berbeda dengan sekolah lain yang perpustakaannya akan tutup setelah jam KBM selesai. Di sekolah ini perpustakaanya tutup jam 5 sore, mengingat Pak Nanang selaku penjaga perpus menempati rumah dinas yang jaraknya tidak lebih dari 10 meter. Yang aku dengar sore hari perpusnya akan dijaga secara bergantian oleh pak Nananng dan istrinya.
Ini pertama kalinya aku berada diruangan yang menjadi surganya para kutu buku di luar jam kbm. Hening, hanya itu gambaran yang dirasa cukup untuk menggambarkan keadaan perpustakaan pada sore hari. Hanya ada satu remaja lelaki yang duduk di pojok dekat jendela yang sedang membaca, semacam buku filsafat dengan headset putih di kedua telinganya. Terlihat asik sekali dengan dunianya.
Aku membaca dengan teliti setiap buku astronomi yang bisa membantu menyelesaikan tanda tanya besar yang melayang-layang di otakku.
"Apa yang kamu cari?" suara tegas yang terkesan dingin itu membuatku melonjak kaget dan menjatuhkan beberapa buku yang aku genggam.
Aku melihatnya dengan jelas kini, rasanya tidak asing tapi aku benar-benar melupakannya, sosok lelaki itu kini tengah memunguti buku-buku yang aku jatuhkan.
"A-anu bu-buku astronomi." jawabku dengan lidah yang menjadi keluh seketika
"Bisa lebih spesifik?" katanya datar
KAMU SEDANG MEMBACA
Goose's Dream
Fiksi RemajaApa kau memiliki impian? Aku memilikinya, aku beri nama impianku "Goose's Dream" mereka menyebutnya impian bodoh, impian angsa, atau impian beracun. Tapi aku tidak peduli. Aku akan menjaga impianku, merawatnya bersama rasa sakit, melatihnya bersam...