03. Sungguh malang nasibku

23 11 17
                                    

Welcom to part 3. Happy Reading gess! Jan lupa vot-ment yes.

🍁🍁🍁

Matahari menyongsong dari ufuk timur. Memancarkan cahaya dan kehangatan kepada seluruh penjuru dunia. Tampak seorang gadis masih menggulung dalam selimut bermotif kuda poni. Tak peduli dengan kilauan cahaya yang menembus jendela kamar, hingga menyorot wajah kusutnya.

Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar bernuansa biru itu. Diketuknya pintu dengan keras, hingga bising.

“Diandra, bangun kamu! Mentang-mentang hari minggu, seenaknya aja males-malesan kayak gini! Anterin jahitan sekarang!”

Si pemilik kamar tidak menghiraukan sama sekali. Dia malah menutup kedua telinganya dengan boneka poni. Setelah semalaman bergulat dengan pulpen dan kertas, rasanya hari ini dia ingin bermalas-malasan saja.

“Ngelawan kamu?! Buka pintunya, Diandra! Antarkan jahitan ke rumah keluarga Pak Damar, cepat!”

Pak Damar? Mendengar nama itu, Diandra langsung menyingkirkan boneka poninya dan langsung berlari ke arah pintu.

“Dengan senang hati, Bun!” balasnya tanpa membukakan terlebih dahulu pintu yang sedari tadi digedor-gedor oleh ibunya.

“Denger nama Pak Damar, aja langsung semangat. Awas, ya, nanti dia bakal jadi kakak ipar kamu. Harus punya batasan dan banyak-banyak tau diri.” Mengatakan itu, Atma pun pergi meninggalkan kamar anak bungsunya.

Sementara Diandra, gadis itu kembali meratapi nasibnya yang menyedihkan. Sebelum pergi mandi, dia malah menyambar gawai yang tergeletak di nakas putih kemudian berselancar ke sebuah aplikasi biru, lalu memposting setatus di sana.

JIKA NASIBMU MALANG, PINDAH SAJA KE BANYUWANGI.

“Sip. Otw pindah.”

20 menit berlalu. Kini Diandra tengah menatap pantulannya di cermin seraya memasang jepit pita kesayangannya di belakang rambut. Sesekali melempar senyum tatkala mengingat hari ini dia akan pergi ke rumah Pak Damar.

“Cantik banget, MasyaAllah!” pujinya sendiri seraya senyum-senyum tidak jelas.

Setelah dirasa semuanya sudah siap, Diandra pun menghampiri kamar sang ibu untuk mengambil baju jahitan yang akan dia antarkan.

“By the way, ini baju apa, Bun?” tanyanya, mengorek-orek paper bag cokelat itu.

“Baju couple keluarga Pak Damar dan keluarga kita, lah,” jawab Atma masih anteng dengan mesin jahitnya, tanpa melirik Diandra.

“Buat?” tanya Diandra lagi belum menangkap maksud perkataan ibunya.

Suara mesin jahit pun perlahan hilang. Atma menatap wajah anak bungsunya yang terlihat bingung. 

“Buat acara pertunangan kakak kamu, dong Diandra,” jawabnya dengan senyum merekah.

Bagai petir di siang bolong. Diandra merasa ada palu besar yang menghantam dadanya hingga sesesak ini. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca. Hari ini, dia harus bisa merelakan orang yang dicintainya demi keluarga.


🍁🍁🍁


“Dari alamat yang dikasih bunda, sih, udah bener. Bener banget malah. Perumahan no 9, depan pohon mangga, ada kandang anjing di bawahnya,” gumam Diandra. “E, buset! Kenapa harus ada anjingnya, si? Supaya gak ada yang maling mangganya pasti. Pinter banget, si, jodoh gue. Eh, ralat, jodoh kakak gue, meskipun gue blum nerima sepenuhnya.”

Rebutan Guru TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang