"Zera Radhisty, bisa ikut saya ke kantor"
Zera mendongakkan kepala saat mendengar suara wali kelas sekaligus guru bk nya. Hati nya mulai tak karuan saat langkah nya mulai beriringan menuju kantor sekolah,memasuki ruangan itu dan duduk dikursi yang sudah disediakan untuk murid-murid yang bermasalah sepertinya,dia tau apa yang akan dibicarakan wanita paruh baya didepan nya ini "Sebelum nya saya meminta maaf karna membahas soal ini lagi,ini sudah bulan ke empat kamu belum membayar uang sekolah. Apa ada masalah?"
Hembusan nafas berat terdengar samar diruangan itu,karna banyak nya manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing "Belum ada uang nya bu," jawab Zera lemah tanpa mengalihkan pandangan nya dari lantai yang dipijak."Kenapa ga minta sama orang tua kamu,kamu cerita kan soal tunggakan ini?"
Zera mengangkat kepala nya,menatap seseorang yang berbicara tadi "Ayah saya lagi gaada uang buat bayar bulanan sekolah,uang nya ke pake buat yang lain." Ia menjawab dengan mata yang terus menatap lurus kedepan,ada rasa sakit yang terpancar dari mata nya,mengapa dia terus menjadi beban sang ayah,haruskah ia berhenti sekolah agar ayah nya berhenti bekerja keras.
Namun ia tahu keputusan nya itu akan ditentang keras oleh ayah nya.
Adhi,ayah zera bekerja sebagai tukang ojek dipangkalan yang tak jauh dari rumah kecilnya. Seminggu yang lalu ayahnya tak sengaja menabrak pengendara bermotor lainnya hingga mengakibatkan bentrokan dimotor bagian belakang korban dan alhasil dimintai ganti rugi untuk perbaikan motor orang itu. Karna tak ada uang yang cukup,terpaksa Adhi memakai uang bayaran sekolah Zera yang sudah ia kumpul kan kurang lebih sebulan ini.Zera tak pernah mempermasalahkan uang itu,yang terpenting adalah kondisi ayah nya. Toh uang masih bisa dicari.
"Kita coba cari jalan keluar nya sama-sama ya," usapan lembut dipunggung tangan nya membuat air bening yang ai tahan sedari tadi pun berhasil lolos. Dia rindu sosok ibu yang tak pernah ia temui,ibu nya meninggal saat melahirkan nya. Bahkan saat dilahirkan pun Zera merasa sudah menjadi beban, karna telah memisakan dunia ayah dan ibu nya.
Isak nya semakin terdengar pilu saat seseorang mulai mendekap tubuhnya,mengusap punggung nya,dan menghapus air mata nya
Kemala tahu kondisi keluarga Zera,maka dari itu dia tak pernah mendesak Zera untuk membayar sekolah. Jika bukan karna pihak sekolah yang terus menuntut setiap murid untuk membayar tepat waktu,ia tak akan seperti ini kepada murid-murid nya.
Sedari tadi Ia mencoba memahami apa yang dipikirkan murid didepan nya ini,mungkin tebakan nya benar. Terlihat dari tatapan yang terus memancarkan kekecewaan dan menyalahkan diri sendiri, "Menghadapi semua nya sendiri memang berat. Kamu bisa cerita sama saya,kalau kamu ngerasa teman-teman kamu ga bisa dipercaya."
Zera diam dan cukup terkejut dengan perkataan bu Kemala barusan,mengapa wanita ini bisa mengetahui semua yang ada dalam kepala nya. Tentang dirinya yang selalu sendiri menghadapi kejam nya dunia,dan apa yang dibicarakan nya tadi 'teman-teman' bahkan dia tak memiliki teman disekolahan ini. Perbedaan kasta selalu menjadi alasan disekolah populer, anak-anak konglomerat tak akan sudi berbaur dengan anak seperti nya.
Jika bukan karna ayah nya yang menginginkan Zera sekolah disini,ia tak akan mau. Dia lebih memilih bersekolah disekolah yang lebih murah dan tak kalah bagus dari sekolah ini. Percuma saja sekolah ditempat yang elite bagaikan surga, tapi kebanyakan orang-orang didalam nya seperti iblis yang memakai jubah malaikat.
"Panggil saya bunda,kamu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri"suara Kemala menghentikan suara-suara jahat yang selalu berputar dikepala Zera. Lagi dan lagi,dunia selalu memberi nya kejutan yang tak pernah diduga. Keterkejutan Zera sangat kentara, Kemala hanya menanggapi nya dengan senyum yang terlihat sangat tulus.
🌇🌇🌇
Zera terus memikirkan apakah dia harus menerima usul dari Kemala tadi siang. Ditangan nya sudah ada kertas kecil berbentuk persegi,terlihat nama dan nomor telpon pemilik caffe yang sudah dicerita kan Kemala pada nya saat berada disekolah tadi siang.
Pemilik caffe itu bernama Indra Dewangga,ia membutuhkan karyawan tambahan paruh waktu ditempat nya. Kemala mengenal nya karna mereka bertetangga. Ia mencoba menawarkan pekerjaan itu pada Zera,lumayan uang nya bisa sedikit membantu mengurangi beban Adhi.
Zera ingin menerima pekerjaan itu, tapi ayah nya pasti tidak akan memberi nya izin, dengan alasan akan mengganggu sekolah nya. Adhi juga pernah mengatakan bahwa bekerja adalah tugas seorang ayah,jadi Zera tidak perlu turun tangan dalam hal ini.
"Putri ayah lagi ngapain?" suara itu cukup mengejutkan Zera. Untung saja ia berada diposisi yang membelakangi ayah nya,jangan sampai ayah nya tahu tentang kartu nama yang ada ditangan nya dan tujuan Zera. Dengan cepat ia memasukkan kartu nama itu kedalam saku celana nya,lalu berbalik badan menghadap ayah nya.
Zera menetralkan wajahnya,agar Adhi tidak curiga, "lagi bengong aja," cengir nya menjawab pertanyaan sang ayah.
Adhi lantas tersenyum mendengar jawaban anak nya itu. Dia berjalan dan menghampiri Zera lalu duduk disamping nya.
"Biar Zera buatin minum dulu," ia berdiri lalu berjalan kearah dapur untuk membuatkan ayah nya teh hangat. Menyeduhkan minuman sudah menjadi rutinitas Zera setiap hari saat Adhi pulang bekerja. Ayah nya tipikal orang yang tidak menyukai kopi, rasa nya kurang cocok di lidah, kata nya.
Setelah selesai membuatkan minum,ia segera kembali ke ruang tengah tempat ia dan ayah nya tadi duduk. Rumah nya terbilang sempit,dapur dan ruangan itu hanyar dibataskan dengan tembok bercat putih gading yang sudah mulai mengelupas.
Zera termasuk orang yang cuek dengan sekitar,ia tak pernah mempermasalahkan ejekan teman-teman nya sewaktu SMP, tentang rumah kecil nya dan segala kekurangan yang ada. Selagi ia nyaman tinggal di rumah nya untuk apa juga ia menanggapi hal yang tak penting seperti itu. Toh dia juga tidak numpang,rumah yang ia tinggali adalah rumah ayah nya.
"Ayah udah makan?" tanya Zera pada ayah nya sambil memberikan gelas bening yang berisi teh hangat buatan nya tadi. Ayah nya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.
Adhi menepuk kursi disebelah nya,mengisyaratkan Zera untuk duduk. Paham dengan maksud sang ayah,Zera langsung berjalan dan menduduki kursi itu, "gimana sekolah kamu?"
"Biasa aja," jujur Zera. Sekolah nya memang biasa saja,sama seperti hari-hari lainnya,tanpa teman. Zera tipikal orang yang tak pandai berbaur,dan bagi nya teman hanya akan menambah beban untuk nya. Disekolah ia sudah terbiasa sendiri. Bukan nya tak ingin berteman,Zera hanya kehilangan kepercayaan pada orang lain selain ayah nya. Menurut nya orang lain hanya ingin saling memanfaatkan hingga pada akhir nya saling merugikan.
Adhi menyandarkan punggung nya pada sandaran kursi,mata nya menatap lurus keatas,rasa lelah selepas bekerja membuat kepala nya sedikit berdenyut, ditambah lagi pikiran tentang uang sekolah Zera yang ia pakai minggu lalu, "uang ayah belum cukup buat ganti uang sekolah kamu." Nada bicara nya terdengar lirih,ia merasa sangat bersalah pada anak nya.
"Ayah ga usah mikirin uang sekolah Zera ya," ia tau apa yang dipikirkan ayah nya. Beliau selalu seperti ini jika menyangkut tentang Zera,selalu menyalahkan diri sendiri. "Zera udah minta waktu secepatnya buat bayar," sambung Zera mencoba menenangkan ayah nya.
Adhi menatap Zera dan mengelus rambut sebahu milik anak nya. Betapa beruntung nya ia mendapat karunia terindah seperti Zera. Anak nya itu tak pernah menuntut banyak dari nya,bahkan Zera selalu memahami keadaan nya. Walaupun Zera hidup tanpa seorang ibu,ia tak pernah mengeluh kan itu pada Adhi,anak nya memang anak yang kuat.
Zera memeluk ayah nya sekilas lalu berdiri,"ayah mandi gih,bau tau." Setelah mengatakan itu Zera cekikikan dan langsung berlari ke kamar nya. Adhi menggelengkan kepala nya seraya tersenyum,putri kesayangan nya itu selalu saja bisa membuat hati nya senang, padahal tadi adalah candaan yang bernada ejekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bersama Senja
Teen FictionZera sudah terbiasa dengan kerasnya dunia luar. Apta yang tak bisa bergerak bebas karna sebuah kekangan. Ganesh hidup dengan semua kepalsuan yang kentara. Rana dengan trauma yang enggan pergi dari kehidupan nya. Mampu kah mereka memenangkan permaina...