Starla mengunci pintu. Lalu menyandarkan punggungnya. Mata yang semula teduh, mulai memencing tajam. Kedua yang tangannya terkepal dengan kepala yang menunduk menatap lantai.
Setelah terlalut lama dalam pikirannya. Starla menegakan tubuhnya. Kepalanya mendongkang menatap kedepan— tepatnya kepada sebuah pigura yang terdiri dari 3 orang anak berusia sekitar tujuh tahun, di atas.
Starla berjalan mendekati tempat pigura itu tersimpan rapi. Mengambil dan menatapnya lamat.
"Nay,"
Shanaya yang hendak keluar dari rumah menghentikan langkahnya, saat Starla memanggilnya.
"Kenapa?" jawab Shanaya sambil menatap Starla yang berjalan ke arahnya.
"Kamu mau main ya."
Shanaya mengangguk cepat.
"Sama Arka?"
"Iya. Kaka kemarin ngajakin aku main lagi. Kami janjian mau ketemu hari di taman." jawab Shanaya dengan antusias.
Starla menunduk memainkan jemarinya, menunggu Shanaya menanggapi pergerakan tangannya.
"Kenapa?"
Starla dengan cepat mendongkang, setelah mendengar perkataan Shanaya yang sedari tadi Starla tunggu pertanyaannya.
"Hmmm... Itu, boleh enggak aku ikut."
"Kamu mau ikut."
Starla mengangguk. "Aku enggak ada temen main."
"Yaudah ayo. Ngapain minta izin segala."
Shanaya menggenggam tangan Starla, membawanya menuju teman tempat Arka menunggu kehadiran Shanaya.
"Kaka!"
Arka yang tengah berdiri menatap taman bermain, tersenyum ketika mendengar seseorang yang ditunggunya. Arka berbalik menatap Shanaya dengan senyum hangatnya, terlebih ketika Shanaya melambaikan tangannya beberapa kali.
Shanaya berjalan mendekat, dengan Starla yang dibawanya.
"Kaka udah dari tadi. Maaf ya, Shasa telat."
Arka tersenyum sumringah, lalu mengacak rambut berponi milik Shanaya. "Enggak papa kok."
"Kanaya mau ikut main sama kita, enggak papa kan?"
Arka tak membalas. Tangannya menggenggam tangan Shanaya dan menariknya dengan pelan, sampai tautan tangan Shanaya dan Starla terlepas.
"Ayo naik ayunan. Aku yang dorong."
Mereka bermain dengan bahagia. Melupakan seseorang yang berdiri di tempat yang sama sedari tadi— dengan tangan terkepal.
Starla mengambil Photo yang telah dikeluarkannya dari pigura beberapa detik yang lalu. Membawa Photo yang diambil beberapa tahun yang lalu— sejajar dengan wajahnya. Starla meneliti setiap bagian yang terdapat di Photo itu.
Shanaya, Arka dan dirinya. Sepuluh tahun yang lalu.
Tentang Starla yang menyukai teman kecilnya, Arka. Namun tidak dengan Arka. Starla tidak akan pernah dekat dengan Starla, kalau bukan karena Shanaya.
Starla memegang wajah Arka, sebelum menyentuh tangan Arka yang merangkul pundak Shanaya. Starla terkekeh sinis, melihat dirinya beberapa tahun yang laku yang nampak menyedihkan. Starla berdiri kaku di samping Arka yang menjaga jarak darinya.
Tentang Arka yang sulit Starla genggam dari dulu.
Starla merobek Photo pada bagian Shanaya, meremasnya. Lalu matanya menatap dengan senyuman puas, yang tersisa dari gambar didepannya hanya ada dirinya dan Arka.
"Shanaya kan udah mati. Buat apa Photo-nya terus di pajang."
🌹🌹🌹
"Udah sampai"
Starla mengangguk. Dirinya membuka sellbeth kemudian membuka pintu dan berjalan menghampiri Axel.
"Lo selalu kelihatan seneng kalau berangkat sekolah." ujar Axel memulai pembicaraan.
Starla mengangguk. "Kamu tahu, aku seneng banget waktu pertama kali denger aku bisa sekolah. Karena ini pengalaman pertama buat aku, sekolah dengan banyak orang di dalamnya. Dulu aku cuman home schooling, dan cuman bisa natap iri aja setiap orang yang pake seragam."
"Seseneng itu."
"Iya. Aku bahkan selalu bersyukur tiap kali bisa bangun dari tidur, sampai aku berdiri dan jalan di samping kamu. Tuhan kali ini berpihak sama aku, buat aku ngerasain artinya kebebasan yang dari dulu aku harapkan." Starla tersenyem tipis, dengan netra yang menatap tepat ke depan. "Jujur setiap kali ngeliat seseorang yang bebas ngelakuin apapun sesukanya, main bareng temen, jalan jalan tanpa takut apapun. Kayak emang keliatan enjoy dan menikmati waktu. Dulu aku enggak bisa kayak gitu."
Starla menatap Axel yang juga menatapnya, lalu menautkan jemari mereka. "Tapi sekarang aku bisa. Aku bisa seperti burung yang menjelajahi setiap tempat yang dia mau dan terbang bebas."
"Dulu aku suka sama seseorang, tapi aku enggak bisa ngegapai orang itu sampai aku milih buat berhenti."
Starla menatap Axel dengan tatapan teduh, tangannya menyentuh pipi Axel dengan lembut. "Sekarang saat nemuin tempat dimana jantung aku berdetak kembali, aku enggak akan ngelepasin orang itu. Aku akan ngejar orang itu, sampai dia punya perasaan yang sama denganku. Setelah itu aku akan berusaha buat ngejaga apa yang seharusnya menjadi milikku, tetap jadi milikku."
Axel terdiam, merasakan sentuhan lembut di wajahnya. "Lo suka sama seseorang?"
Starla mengangguk. "Iya."
Axel mundur dua langkah, membuat tangan Starla yang hendak mengusap rambutnya, melayang di udara.
"Jangan sembarangan nyentuh rambut gue!" cetusnya dengan wajah yang menatap ke samping.
"Kenapa?"
"Gue enggak nyaman."
Starla mengangguk kaku. "Sorry, aku enggak tahu." katanya dengan raut wajah yang nampak menyesal.
"Lain kali jangan diulangin."
Starla berdehem dan menggenggam kembali tangan Axel untuk melanjutkan langkah mereka yang baru sampai di kolidor sekolah.
"Boleh aku tahu hal apa yang enggak kamu suka?"
Axel menatap Starla dengan wajah yang masih agak datar. "Buat apa?"
"Buat, supaya aku enggak ngebuat kesalahan lagi."
"Gue enggak suk--- MEL,"
Axel berlari mendekati Pamela yang terduduk di lantai dengan muka pucat.
"Lo sakit?"
Axel menekuk lututnya, menyentuh kening Pamela yang sangat panas— lalu membantu pamela berdiri. "Kaki gue lemes, Xel."
Axel menggendong Pamela ala bridal style. "Gue antar lo pulang."
Pamela menggeleng, enggan.
"Mel,"
"Gue enggak mau, Axel."
"Gue takut elo kenapa napa."
"Gue baik cuman butuh tidur."
Starla yang sedari tadi terdiam, menatap keduanya dengan tatapan yang sulit di artikan. "Kak aku--"
"Lo ke kelas sendiri, gue mau nganterian Pamela ke uks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Y.O.U
Teen Fiction"Di batas kemampuan seseorang, ada level pasrah yang melebihi ikhtiarnya." Sequel Genesis | bisa dibaca terpisah.