Senyuman lebar mengembang di bibir tipis Starla. Mulut kecil sekali kali berdecak kagum, menggulir satu persatu poto yang baru beberapa hari di ambil bersama dengan Axel. Sebelum senyuman itu pudar, Bibir yang pada awalnya mengembangkan senyum manis, berubah menjadi garis lurus.
Starla menyimpan ponselnya di kursi kosong di sebelahnya. Pandangannya lurus ke depan, dengan pikiran yang melambung jauh.
Nyatanya melupakan tak semudah itu. Banyak hal yang dilewati bersama, banyak cerita yang terukir sudah terlewat oleh mereka berdua. Banyak kenangan bahagia walau rasa sakitnya sama rata.
"Star..."
"Starla!"
Starla tersadar dari lamunannya, saat bahunya di tepuk kencang. Starla memejamkan matanya sejenak, guna menimalisik satu rasa yang mampu membuat jiwanya terasa tenggelam.
Starla menoleh menatap Livia yang berdiri di samping kursi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa?"
"Elo enggak papa?"
Starla menatap tak percaya, "Aku," tunjuknya pada dirinya sendiri. Livia mengangguk, mengiyakan.
"Aku baik kok Liv."
Livia menunjukan ekspresi tak percaya. Sebelum satu hal membuatnya menepuk jidatnya sendiri. "Tuhkan gara gara lo sih, gua jadi lupa. Jadi tujuan gue kesini itu mau ngasih tahu elo, gue tadi ngeliat kak Axel bawa bunga. Gue kira bunga mawar yang dibawa buat elo, ternyata dikasih ke Pamela." jelasnya dengan dagu yang terangkat. "Enggak nyangka banget, gue kira kalian pacaran."
"Kamu bercanda ya, yang aku tahu Axel bantuin Pamela yang sakit."
Livia memutar bola matanya, "Udah gue duga elo enggak akan percaya sama apa yang gue lihat." ujarnya dengan kedua jarinya yang sibuk mengotak atik ponsel ber case hijau muda itu. "Untung gue pinter, jadi gue potoin buat bukti." Livia menunjukan hasil bidikannya, telat di depan wajah Starla. Axel yang berdiri sambil membawa bunga mawar— persis seperti yang dilihatnya kemarin sore. Tengah berdiri berhadapan dengan Pamela yang duduk di ranjang Uks.
"Percayakan?" tanya Livia dengan alis yang terangkat. "Gue enggak bohong."
Starla tidak mengeluarkan suara, namun dari respon wajah kakunya, sudah mampu menjawab Livia.
"Mereka di Uks kan?"
"Tadi gue lewat sih masih ada."
Starla berdiri. Menepuk pundak Livia dua kali sebelum keluar dari kelas.
Livia megangkat bahunya acuh. Lalu mengambil tempat duduk di tempat yang sebelumnya ditempati Starla. Livia menunduk, menemukan ponsel Starla yang masih menyala. Keningnya berkerut, saat netranya menangkat sosok lain yang tersenyum kaku di samping Starla.
Senyuman yang terlihat lebih dipaksakan, dengan netra biru laut yang nampak kosong...
🌹
"Pamela!"
Starla mencekal tangan Pamela yang tengah berjalan keluar dari Uks.
"Aku tahu kakak sakit. But please, jangan ngegunain sakit-nya kakak buat narik perhatian Axel."
Pamela menatap Starla dari atas hingga kebawah, lalu ke atas lagi. Menatap wajah Starla dengan tatapan menyeringai, mendapati satu ekpresi kekhawatiran yang Pamela jelas ketahui.
"Lo siapa? Berhak ngatur Axel mau care sama siapapun?"
Starla membisu.
"Elo bukan siapa siapa-nya. Kenal juga baru beberapa bulan ini. So, enggak usah kepedean sama kebaikan Axel ke lo. Karena elo harus Axel baik ke semua orang, bukan cuman ke elo doang!" Ungkap Pamela dengan kedua tangan bersimba di dada.
"Tapi enggak seharusnya kamu pura pura sakit buat untuk narik perhatian Axel. Enggak seharusnya kamu mamfaatin kebaikan Axel, yang enggak seharusnya kamu nikmati." ujar Starla tak mau kalah.
"Terus kenapa kalau gue mau narik perhatian Axel. Toh Axel juga sahabat gue. Persahabatan kita bukan kayak pertemanan lo yang baru terjalin baru baru ini. Disini persahabatan gue enggak sesederhana itu. Kita udah ngelewatan banyak hal beberapa tahun ini, lo mau ngetest gue seberapa tahu nya gue tentang Axel?"
"Berteman bukan diukur dari seberapa lama kita kenal. Tapi soal nyaman dan kepercayaan---"
"Elo tahu makanan kesukaan Axel. Elo tahu hobi Axel apa, olahraga kesukaan dia apa, kebiasaan Axel kayak apa? Lo tahu semua itu?"
Skakmat. Starla bungkam.
"Ya. Persahabatan memang terjalin dari kenyamanan dan kepercayaan. Tapi lo harus tahu satu hal, menjalin hubungan bertahun tahun sama orang yang sulit percaya itu juga penting. Enggak mungkin dua hari kita kenal sama dia, dia mulai ngejelasin semua hal tentang dia. Mau itu buruk ataupun baiknya. Mereka juga punya batasan untuk nerangin siapa dia sebenarnya dan juga semua itu butuh waktu." jelas Pamela panjang lebar.
"Kamu ngomong semua ini, buat yakinin aku bahwa kamu lebih tahu segalanya tentang Axel dari pada aku kan?"
Pamela menggeleng mendapati respon Starla yang diluar dugaannya. "Bukan! Gue cuman mau bilang, Axel enggak suka sama cewek yang munafik!"
"Kamu nuduh aku munafik?" tak terasa kedua tangan Starla terkepal.
Pamela tersenyum miring. "Mau gue kasih tahu satu rahasia? Axel enggak akan pernah suka sama lo. Apalagi modelan muka dua kayak---"
Plak.
"Keterlaluan! Kamu gak tahu tentang aku, tapi kamu berani nilai aku---"
"Starla!"
Starla membeku, menatap tangannya lalu menatap wajah Pamela— pada pipi kirinya yang memerah akibat dari Starla yang mrnamparnya. Starla mengangkat wajahnya saat Axel telah berdiri di sampimg Pamela— ya pria itu lah yang tadi meneriaki namanya.
"Lo kenapa sih?!"
Starla menatap Axel yang tengah pokus menyentuh pipi Pamela yang kemerahan. Bahkan saat bertanya pun, Axel tak menatap wajahnya.
"Axel aku—
"Kita harus obatin luka lo! Nanti infeksi!"
Axel merangkul bahu Pamela, membawanya kembali masuk ke Uks— tanpa menatap Starla yang menatapnya tak percaya.
Pamela menoleh menatap Starla, lalu mengedipkan matanya. Membuat kepalan tangan Starla yang baru terlepas kembali terkepal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Y.O.U
Teen Fiction"Di batas kemampuan seseorang, ada level pasrah yang melebihi ikhtiarnya." Sequel Genesis | bisa dibaca terpisah.