Starla membenarkan tali tas di bahunya. Melangkah dengan raut wajah yang ceria, semenjak hari pertama Starla menginjakan kakinya di sekolah ini, sepuluh hari yang lalu.
Starla merasakan kebebasanya sekarang. Kebebasan yang sedari kecil tidak mampu dia dapat.
"Cepetan anjing!"
Langkah Starla terhenti.
"Semua ini enggak ada artinya sama semua kesalahan lo sama sahabat gue!"
Starla membawa langkahnya mengikuti suara bentakan itu berasal. Sampai disini, di depan sebuah pintu kelas yang terletak paling ujung dekat taman belakang sekolah— yang terlihat tak terpakai.
"Bahkan ini bukan apa apa dengan tingkah kalian yang mojokin—"
Starla membuka pintu itu dengan keras, lalu berlari menghampiri seorang siswi yang terduduk dengan posisi menekuk lekuk.
"Kamu apa apa-an? Apa pantes sekolah sebesar ini menjadi tempat ajang bully."
Pamela. Gadis yang berdiri menjulang dengan tangan bersimba di dada, menatap Starla dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Bukan urusan lo!" jawabnya ketus, sambil menatap ke samping.
"Jelas bakal jadi urusanku. Kamu membulinya."
Tangan Pamela terkepal. Tangan kanannya menunjuk tepat pada wajah Starla yang terlihat angkuh di matanya. "Lo enggak tahu apa apa anjing. Enggak usah ikut campur!"
"Aku—"
Perkataan Starla terhenti, saat seseorang yang terduduk di belakangnya menahan tangan kirinya. Starla menatap dengan tatapan seoleh bertanya kenapa, namun respon yang gadis itu berikan hanya menggelengkan kepala. Seolah berkata 'Jangan.'
Pamela tersenyum mengejak. "See, silahkan pergi. Elo enggak dibutuhin disini."
"Kamu ngancam dia kan?!" tuduh Starla, matanya bergulir menatap papan nama gadis yang berdiri di belakangnya. 'Althea kara B.' "Kamu di ancam sama dia? Jangan takut, aku bakal coba lindungin kamu."
Althea tak bergeming.
"Hah, ngelindungin? Ngelindungin dengan cara apa maksud lo?" Pamela terkekeh sinis. "Orang yang bahkan masih berlindung di balik orang tua. Orang yang masih butuh tameng buat dirinya sendiri. Gimana bisa jadi tameng buat orang lain?! Iya enggak di?" tanya Pamela pada orang juga tertawa di belakangnya.
Audi tertawa keras sambil memegang perutnya. "Sayang Mel, niatnya mau nolongin jatuhnya kayak mau di perhatiin. Pahlawan, cih?!"
Starla tak menanggapi, netranya menatap tepat ke arah Althea yang terduduk tenang di belakangnya. Dengan ekpresi yang seperti berkata, 'Enggak papa. Ini bukan apa apa.'
"Kenapa kamu diam aja. Karena kamu sering di bully sama mereka? Jadi mereka ngancam kamu buat enggak speak up? Kalau kamu enggak mau jujur sama aku, kamu bisa bicara ke kepala sekolah biar mereka yang—"
"Mau itu mulut dipakai ngomong sampai berbusapun enggak akan dapat balasan dari si muka dua! Jadi go away?!" cemooh Audi dengan tatapan mengejek.
Starla berdiri, menepuk nepuk rok seragam yang terkena debu. "Aku bakal laporan masalah ini ke kepala sekolah. Biar hal ini enggak terjadi sama orang lain, biar kalian jera enggak ngelakuin hal yang tercela kayak gini."
Pamela berjalan mendekati Starla. Berdiri tepat di depan Starla yang menatapnya mengadili.
Pamela menepuk nepuk pundak Starla dua kali. "Lo terlalu banyak ikut campur!" lalu mendorong tubuh Althea dengan telunjuknya, membuat Althea terdorong mundur ke belakang. "Just shut up your fucking mounth! Orang tua lo, uang mereka, atau sekaligus kekuasan mereka, enggak akan bisa beli gue!" tekan Pamela, sebelum menepuk nepuk tangannya setelah itu.
Matanya memberi kode pada Audi untuk pergi. Audi yang mengerti menganggukan kepala.
Audi berjalan menghampiri Starla, berdiri di depan gadis itu. Kepalanya menengok ke belakang, ke arah seorang gadis dengan bekas tamparan di pipi— yang tengah menundukan kepala. Lalu kembali menatap Starla, menepuk nepuk pipi gadis itu dua kali.
Senyuman sinis itu terbit di bibir Audi. "Selamat tinggal ketenangan."
🌹🌹🌹
"Terima kasih bibi."
Starla tersenyum kearah bibi penjual di kantin. Tangannya membawa nampan berisi nasi goreng, dengan teh hangat dengan langkah pelan.
Bruk.
Nampan yang di pegang Starla terjatuh. Starla menatap nanar makanannya, netranya berlalu menatap seorang gadis yang menatap kosong ke arahnya.
Amarah yang tadinya akan terlontar, kembali tertahan. Penampilan gadis itu. Rambut yang dipotong pendek compang camping. Warna mata yang berbeda— kanan warna coklat kelam dan sebelah kiri berwarna biru laut. Wajah pucat tanpa make up dan luka luka kecil yang terdapat di kedua tangan gadis itu.
Starla hendak mengeluarkan suara, namun gadis itu langsung berlalu tanpa mengucapkan apa apa.
"Star, elo enggak papa?"
Starla menepuk dua kali tangan yang menyentuh pundak belakangnya. "Enggak papa Liv."
Livia mengangguk. Lalu menuntun langkah Starla menuju meja mereka.
"Aku heran, di sekolah sebesar ini masih aja jadi tempat ajang bully."
"Maksud lo?"
"Perempuan tadi yang nabrak aku, penampilannya aneh banget. Keterlaluan banget orang yang ngebully-nya." ujar Starla dengan pandangan yang menerawang ke depan— pada kejadian saat dia menyelamatkan siswi bernama Althea.
Livia yang pada dasarnya juga murid pindahin di sekolah ini hanya mengangguk. "Tapi ini semua enggak lebih serem kayak rumor yang pernah gue denger."
Starla mendekatkan wajahnya ke arah Livia yang baru saja meneguk es teh hangat-nya.
"Apa?"
"Orang yang di bully sampai mati."
Starla menutup mulutnya dengan tangan terkejut.
"Bahkan nih ya, hampir setiap orang yang sekolah disini— tepatnya orang yang kenal dia. Pada takut." ujar Livia dengan wajah seriusnya. "Mereka lebih baik bungkam dari pada kena masalah."
"Dia yang kamu maksud, semenakutkan itu?"
"Iya. Gue denger dari kakak kelas yang kenal dia. Mereka bilang, "Linggar adalah salah satu siswi yang dia bully. Linggar meninggal jatuh dari lantai paling atas sekolah. Penyebabnya sampai sekarang belum di ketahui. But, they say dia penyebabnya." creme banget enggak sih? Untung di udah enggak ada di sini lagi. Bernapas lega banget gue."
Starla masih terdiam dengan wajah kakunya. Sampah tiba tiba satu pertanyaab muncul di benaknya.
"Dia, Siapa?"
Livia mendekatkan wajahnya ketelinga Starla. Berucap dengan suara yang sangat pelan.
"Gue juga enggak tepatnya kayak gimana. Tapi mereka bilang, namanya—
Shanaya Bertha Olesia..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Y.O.U
Teen Fiction"Di batas kemampuan seseorang, ada level pasrah yang melebihi ikhtiarnya." Sequel Genesis | bisa dibaca terpisah.