episode 4

163 11 1
                                    

ILY mendarat di hamparan rumput seluas lapangan sepak bola, rumput yang hijau dan rapi. Aku, raib, seli dan ali turun dari ILY.

"Woahh" ucapku takjub melihat air terjun setinggi pohon kelapa, debum airnya jernih menimpa bebatuan dibawahnya

Sungai jernih mengalir berkelok kelok dan menghilang dibalik sebuah gedung besar. Sangat besar. Bahkan aku tidak pernah melihat bangunan sebesar ini sebelumnya. Lensa kamera bahkan tidak akan mampu memotretnya. Ya. Inilah perpustakaan sentral, klan bulan.

Sepersekian menit lalu aku mendengarkan cerita ali dengan seksama, kini aku telah menginjakkan kakiku di klan lain, didunia paralel, di klan bulan.

Ini bukan luar kota, luar negeri atau apalah itu? Apa ini luar angkasa? Atau astagaa dunia paralel. Sejak kecil aku tertarik dengan topik itu. Tapi kebanyakan orang tidak percaya, dan kini aku melihatnya sendiri.

"Hey saa! Tutup mulutmu itu. Jika ada burung pasti sudah muat untuk masuk kedalamnya" celetuk ali membuyarkan lamunanku.

Aku segera menutup mulutku tersadar dari lamunan. Raib tersenyum kecil melihatku juga seli.

"Kita kemana?" Tanyaku.

"Kemana saja, yang bisa menjawab pertanyaan kita" ucap ali berjalan lebih dulu.

Aku raib dan seli mengikuti dari belakang. Sesekali aku mengamati sekitar. Pakaian mereka gelap gelap, tidak seperti di klan bumi.

Apa mereka tim 'black never wrong' ?
.
.
.
.
Kami menunggu cukup lama di tempat duduk perpustakaan, perpustakaan sentral benar benar luar biasa.

"Lihat saa sudah 12 series" ucap seli mengetuk sesuatu seperti tab tipis.

"Eh.. ini novel?" Tanyaku antusias

"Ahahaha dia sudah mendengar rangkuman ceritannya lewat ali selii" ucap raib bergabung dengan kami berdua.

"Eh ini novel apa?" Tanyaku melihat judul judulnya.

Judulnya aneh sekali, tapi juga menarik. Bumi, bulan, matahari, bintang, dan lainnya.

"Aku kira ini buku astronomi" ucapku menatap tiap judul series itu.

"Ini kisah kami bertiga saa! Penulis klan bulan membuatnya dari 1 petualang menjadi 1 buku" jawab seli.

"Wahh.." ucapku takjub aku membaca sekilas.

"Namaku raib, usiaku 15 tahun, kelas sepuluh," bacaku

"Namannya ali, 15 tahun,kelas sepuluh. Jika saja orangtuannya mengizinkan, seharusnya dia sudah duduk di tingkat akhir ilmu fisika program doktor di universitas ternama. Si biang kerok.."

"Hey sa!" Seru ali yang tidak sengaja mendengarku.

"Penulis itu belum mengganti kata biang kerok di novel itu ya?!" Ucap ali.

"Awas saja! Jika aku bertemu dengan penulis itu, aku akan memukulnya dengan tongkat kastiku" lanjut ali lagi.

Seseorang memperhatikan kami dari kejauhan tengah sibuk dengan tab hologramnya. Ia tersenyum tipis mendengar sayup sayup percakapan kami.

"Heh ali, Pelankan suaramu! Bagaimana jika penulis itu ada disini dan mendengarmu" ucap raib kesal.

"Emang apa salahnya dengan biang kerok? Itu cocok sekali denganmu ali, sikusut dan biang kerok" ucapku menatap ali.

Ali terlihat semakin kesal, raib dan seli menahan tawa mereka.

"Hey sa! Astaga aku tidak menyangka kau sangat menjengkelkan seperti ini. Dasar tepung bumbu!" Ucap ali

AldebaransTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang