Hari ini terasa kembali berat, seperti beberapa waktu lalu. Jam tidur yang meningkat, nafsu makan yang berkurang tapi tetap memaksakan diri mengunyah banyak hal walau sudah mual.
"Oke, hari ini datang lagi," batinku.
Berada di tengah emosi yang tidak nyaman, seharian, rasanya sudah menjadi teman selama dua tahun belakangan. Sampai-sampai jika ditanya apakah perasaanmu lebih buruk atau lebih baik, aku tak lagi bisa menjawabnya dengan tepat. Rasa ini seperti nafas yang dihirup setiap hari, tak berat, tapi juga tak ringan.
Sehari berlalu tanpa arti. Kelewatan kelas lagi, gagal fokus dan mencatat materi lagi, kelewat tidak peduli sama adek lagi. Gagal yang terus menjadi "lagi", dan perasaan kosong yang tak lagi berteriak meminta diisi. Capek rasanya, kalau ngerasa bahagia tapi nanti sedih lagi.
Malam tadi, baru saja aku sangat memantapkan niat untuk melanjutkan kerja proposal skripsi, yang sudah tertunda berbulan-bulan lamanya, berujung gagal lagi. Tadi, setelah mengerjakan tugas volunteer aku berniat untuk menonton salah satu acara yang menarik dan belum ku tonton minggu ini, baru setelahnya mengejar ketertinggalan mengerjakan ulang bab 1.
"Sertifikat beres, adek udah tidur, sekarang nonton dulu deh sebentar," batinku malam itu, sambil bertukar kabar sama Mama. Yah, walau sebenarnya lebih ke karena butuh uang mingguan bukan karena ingin tahu keadaannya.
Setelah dapat transferan uang mingguan, ku coba beranikan diri untuk menanyai kabarnya.
ma, lagi apa? kok belum tidur
iya nih, triplet baru aja pada tidur. tadi ada yang sakit, ada yang jatoh. besok harus ke dokter bedah mulut juga. hari ini riweuh pisan kak
waduhh kok bisa? terus gimana?
jangan lupa istirahat ih
(dibaca)
Merasa tidak aneh dan justru lega karena nggak perlu lanjutkan pembicaraan "basa-basi" yang paling aku hindari, aku melanjutkan nonton acara musik yang tadi sempat teralihkan sementara. Terhanyut di acara seperti ini rasanya tenang ya, nggak overthink soal orang lain kayak waktu lagi beberes tadi sore. Tapi, setelah acara berakhir dan hening mulai menembus earphone yang ku pakai, tiba-tiba suara yang biasanya terdengar samar menjadi terdengar jelas, terlalu jelas bahkan.
Suara itu, entah bagaimana persisnya, yang jelas dia bilang ke mama kalau selama ini kakak berlaku sangat tidak menyenangkan, dan dia menolak untuk terima kakak lagi di rumah ini. Dia bahkan menyumpahi kakak yang tinggal di rumah Bude, hal-hal yang tidak menyenangkan. Seketika itu pula, aku menyesal memilih untuk mengakhiri menonton acara musik dengan volume suara maksimal. Lagi-lagi, dia mengulangi kalimat yang sama, yang membuatku kembali melukai diri waktu itu.
Rasanya? entahlah.
Sedih? sepertinya bukan
Marah? sepertinya bukan
Hancur? oh, ayolah, bagaimana bisa sesuatu yang sudah hancur kembali hancur lagi.
Mungkin, aku lebih merasa menyesal membuka telinga dan membuka mata akan apa yang mama rasakan hari ini. Seperti, kenapa harus hari ini, malam ini?
Akhirnya, terluka lagi. Ingin sekali menangis, sudah ku dengar banyak lagu sedih yang biasanya membuatku langsung tersedu-sedu kalau dengar itu sendiri. Tapi, sampai lagu terakhir pun, tak ada satu tetespun air mata yang jatuh, atau bahkan keluar dan tertampung di kelopak mata. Kering, mati rasa.
Oh, ayolah, bagaimana kamu bisa kerja kalau terus menerus terjebak dalam lubang hitam ini, lagi? Teralihkan lagi? Menghindar lagi?
Tuhan, jangan malam ini, boleh?
KAMU SEDANG MEMBACA
dan akhirnya, aku hancur lagi
Randomcatatan harian yang tertulis di saat-saat hancur