Tadi, mendadak aku sadar, dan mendadak semuanya terlalu jelas, bagaimana dia sangat berusaha tidak mengucapkan kata kasar atau menggunakan nada bicara tinggi saat sedang adu mulut denganku.
Jelas, waktu dia menelan kembali kata-katanya yang hampir keluar, lalu menghela nafas berat
Padahal sudah tiga hari aku menghindar dari dunia, tapi dunia seperti selalu punya cara buat tarik kakiku menapak diatas tanah. Tiga hari tercekik dengan perasaan mati rasa yang terlalu bingung, mau merasakan apa.
Lalu, malam ini, semua "kebetulan" yang seperti petaka muncul bersama-sama.
Kakak menelepon tiba-tiba, disaat ia bahkan sama sekali tidak mengabari manusia satu itu. Entah Tuhan sengaja atau gimana, manusia itu tiba-tiba naik ke depan kamar, dan tahu kalau kami sedang teleponan.
Cemas berganti jadi takut, asumsi berganti jadi pemicu, membuat mati rasa kemarin tiba-tiba meledak dari tempatnya.
Takut, akhirnya aku sama sekali nggak mau bicara.
Nggak mau mendekat, berusaha nggak melakukan kontak apapun, bahkan kontak fisik dengan adik di sebelah.Terentak karena sedang baca konten DID yang bikin cemas, terus menyinggung proposal skripsi yang sengaja kuhindari sejak terakhir kali kirim surat perjanjian, lalu membahas teman yang berencana ke psikiater tapi lagi-lagi di cap "anak psikologi kok ke psikiater."
Seperti tidak cukup, perlahan mereka yang selama tiga hari ini 'diam', menyuarakan keluh kesahnya bersamaan.
Oh ayolah, ternyata kamu masih merasa gagal karena ekspektasi sendiri, kan?
Ekspektasimu tentang orang lain?
Tentangmu yang masih gagal untuk bisa mewujudkan dan memenuhi ekspektasi orang lain?
Tiga hari yang runtuh dalam tiga menit. Mati rasa yang kemudian berubah jadi rasa ingin mati dalam sekejap.
Lucu ya, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
dan akhirnya, aku hancur lagi
De Todocatatan harian yang tertulis di saat-saat hancur