"Aku berhenti kuliah saja, Bu." Kalimat itu sontak menghentikan tangan yang sedang menyuapkan nasi. Makan malam pun terhenti begitu saja, bagaimana tidak? Tiba-tiba muncul pernyataan yang mengagetkan. Bella mengatakan itu di depan kedua orang tua dan kakaknya. Semua memandang Bella keheranan.
Bella Rinjani, anak bungsu dari dua bersaudara yang lahir dan tumbuh dari keluarga sederhana. Ibunya hanya seorang penjual makanan, sedangkan ayahnya baru saja memasuki masa pensiun. Cita-citanya hanya satu, membahagiakan kedua orang tua dengan meringankan bebannya.
"Bella tau, kalau Bella kuliah pasti biaya akan sangat mahal. Lebih baik Bella bantu Ibu jualan di warung, kalau sudah ada uang baru kuliah. Biar saat ini Mbak Laras saja yang menyelesaikan kuliah," tambah gadis itu. Dalam lubuk hati paling dalam, sebenarnya ia ingin merasakan kuliah. Namun, mengingat kondisi perekonomian keluarganya, ia mengurungkan niatnya. Menyingkirkan ego bagi anak bungsu adalah hal yang sangat sulit. Ketika semua orang menganggap anak bungsu akan selalu dituruti dan dimanja. Namun, tidak untuk sekarang, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa meringankan beban keluarganya. Rasanya tidak ada pilihan lain, harus ada yang dikorbankan. Bella berusaha meyakini dalam hati, suatu saat ia pasti bisa berkuliah di kampus favoritnya.
"Tapi, Bel, Kuliah Mbak Laras sebentar lagi selesai, kok. Hanya kurang satu semester. Setelah itu Mbak akan mencari kerja dan membantu perekonomian keluarga," sahut Laras–kakak perempuan sekaligus anak pertama yang hanya selisih tiga tahun dengan Bella.
"Iya, Mbak. Untuk saat ini biar Ibu dan Ayah fokus dengan biaya kuliah Mbak dulu." Bella seakan masih kuat dengan pendiriannya untuk tidak melanjutkan kuliah tahun ini. Meskipun berat, tetapi ia yakin dengan keputusannya ini ibu dan ayahnya tidak semakin terbebani.
Wiwik–ibu Bella dan Laras, hanya terdiam memandang anak bungsunya berkata seperti itu. Rasanya tidak ada yang ingin terlontar, apa yang diucapkan anaknya memang benar. Jika dipaksakan, belum tentu semuanya akan baik-baik saja. Uang tabungan pensiun suaminya pun telah terkuras untuk membayar kontrakan rumah dan biaya kuliah Laras. Sedangkan, hasil jualan di warung pun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Keinginan mungkin boleh saja terbaik, tetapi harus tetap realistis dengan keadaan.
"Bukannya kamu mengajukan beasiswa?" tanya Andy–kepala rumah tangga sekaligus ayah Bella dan Laras.
"Iya, Ayah. Bella sudah mendaftar di salah satu universitas melalui jalur beasiswa. Tapi belum ada jawaban. Bella nggak mau berharap banyak karena itu salah satu universitas terbaik dengan peminat terbanyak. Pasti saingannya pun banyak." Bella menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca seakan tidak ada keyakinan ia bisa masuk kuliah dengan jalur beasiswa. Meskipun tidak bisa dipungkiri, Bella merupakan salah satu siswi berprestasi selama sekolah. Namun, ia tak ingin terlalu banyak menaruh harap.
"Hasilnya mungkin belum keluar, tapi pertolongan Allah itu nyata. Mintalah di sepertiga malam agar keinginanmu tercapai. Ayah tau kamu sangat ingin melanjutkan kuliah, tapi keadaan ekomoni seakan memberi pilihan berat. Insyaallah akan ada jalan, Nak. Ayah dan ibumu ini masih sanggup untuk bekerja dan menabung." Ayah Bella menjelaskan panjang lebar serta meyakinkan bahwa mampu menguliahkan kedua putrinya itu. Lelaki berusia 45 tahun itu tampak mulai keriput, tetapi semangat dan tekad untuk membahagikan keluarga masih terlihat jelas.
"Apa pun yang terjadi, anak-anak Ibu harus menjadi sarjana, ya. Insyaallah akan selalu ada jalan untuk hal baik," tambah wanita paruh baya itu memecah suasana kesedihan. Mereka pun melanjutkan makan malam yang sempat terhenti karena ucapan si bungsu–Bella. Bella hanya terdiam dan segera menghabiskan makan malamnya.
Pertolongan Allah itu pasti? Apa iya untuk yang ini Allah juga akan membantu? batin Bella terus bergejolak, mulutnya masih mengemu sesuap nasi yang belum juga ditelan. Sangat amat besar keinginannya kuliah, tetapi menekan ego jauh lebih penting untuk saat ini.
Sepanjang malam Bella sulit memejamkan mata. Tubuhnya sudah terselubung selimut, tetapi pikirannya masih saja belum tenang. Ia masih mendambakan bisa kuliah di universitas pilihannya. Dengan tubuh terbaring, ia menatap langit-langit kamar dengan warna kuning samar efek lampu tidur. Matanya berjalan ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan satu titik tepat di atasnya.
"Ya Allah, Bella ingin kuliah, tapi Bella tau ini berat untuk Ibu dan Ayah. Bella nggak mau Ibu dan Ayah harus banting tulang lebih keras dari sekarang hanya untuk kebahagiaan Bella. Kebahagiaan dan kesehatannya lebih utama dibandingkan mimpi Bella. Tapi Bella pun ingin membantu perekonomian keluarga. Semoga ada jalan yang Engkau tetapkan," lirihnya pelan, kemudian disusul memejamkan mata. Ia memaksa pikirannya untuk tenang dan beristirahat.
Hari demi hari Bella lewati dengan harap cemas mengenai pengumuman beasiswa kuliah. Meskipun ia berusaha untuk tidak banyak berharap, tetapi hatinya tetap saja menginginkan untuk bisa berkuliah. Kesibukannya saat ini hanyalah membantu sang ibunda berjualan di warung. Usaha dan doa selalu ia perkuat. Tak jarang tubuhnya terbangun di sepertiga malam. Ia teringat ucapan ayahnya bahwa pertolongan Allah itu nyata. Di sepertiga malam itu selalu ia ceritakan semua keinginan dan kegelisahan dalam hati, sesekali dengan meneteskan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih, Takdir!
Teen FictionDewasa itu terjadi karena dua hal. Yang pertama karena sebuah pilihan. Yang kedua karena terpaksa. Terkadang takdir membawa kita menemukan jati diri sesungguhnya. Sering kali tak menyadari itu, justru menganggap bahwa Tuhan tidak adil. Cerita ini a...