1. Ranting-Rahasia

56 13 2
                                    

Ranting sama seperti siswa lainnya di SMA Garuda. Berkewajiban masuk kelas sebelum bel berbunyi, dan mengerjakan tugas dari para guru. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dia lakukan, lebih tepatnya tidak boleh, olahraga. Dia tidak bisa mengikuti pelajaran yang lebih banyak aktivitas fisik ketimbang otak itu.

Gadis berambut lurus sepunggung itu mengidap penyakit jantung bawaan. Katup antar biliknya mengalami kelainan. Meski sudah pernah dioperasi, Ranting tidak serta merta sehat seperti orang kebanyakan. Tidak kurang dari lima jenis obat yang harus dia konsumsi tiap hari, selain harus menjaga kondisi tubuh agar tidak kecapaian.

Akan tetapi Ranting bukanlah jenis cewek yang pasrah akan penyakitnya. Dia tidak terlihat murung atau lemas selayaknya pesakitan. Dia ceria, selalu menebar senyum ke setiap orang yang dijumpai. Nyaris semua siswa kelas X dan sebagian besar senior mengenalnya.

Semua orang tahu Ranting mempunyai jantung yang lemah. Semua orang tahu Ranting adalah anak dari pemilik yayasan yang menaungi sekolah mereka. Semua orang juga tahu kalau Ranting memilih pelajaran seni rupa daripada kimia.

Helaan napas lolos dari bibir Ranting. Sorot matanya sendu. Bibirnya melengkung ke bawah. Ekspresi sedih yang terlalu kentara. Penyebabnya adalah kertas ulangan di tangannya.

“Kenapa lo?” Adalah Damar, teman Ranting sedari bayi yang bertanya. Meja mereka berurutan. Damar duduk di depan Ranting. Gadis itu sendiri yang meminta, dengan alasan saat dia sedang iseng menggambar, tidak akan diketahui oleh guru karena tertutupi badan tinggi Damar.

Cowok itu mengambil kertas ulangan Ranting, melihatnya, sedetik kemudian tawanya mengudara. “Gile, Ndro, gocap!” ujarnya diakhiri tawa.

Ranting mendesis, menarik paksa kertas itu. “Seneng lo? Liat temen nilainya jelek seneng lo?”

“Sorry, sorry.” Damar berusaha meredam tawanya dengan mengatupkan bibir. Tapi binar jenaka di matanya tak bisa disembunyikan.

“Dasar gak berperiketemenan!” Ranting memanyunkan bibir.

“Heleh, gitu aja ngambek.” Damar menjawil hidung Ranting yang segera ditepis dengan kasar. “Makanya belajar dong! Kan udah gue ingetin kemarin.”

Ranting meletakkan kertas ulangannya di meja, lalu menimpanya dengan lengan yang terlipat di atasnya. “Mau gue belajar sekeras apa pun yang namanya kimia sama fisika gak bakalan nyangkut ke otak gue, Dam.”

“Jadi, pasrah nih? Lo mau masuk IPS aja? Yakin ortu lo gak kecewa?”

Seketika wajah Ranting kembali sendu, lebih dari sebelumnya. Dia teringat papanya yang pemilik yayasan. Apa kata orang-orang kalau anak Pak Danu Andara justru masuk IPS karena nilai kimia yang tak mumpuni?

Orang tuanya memang tidak menuntut Ranting untuk masuk IPA, jurusan yang terkenal dengan anak-anak berotak Einstein itu, tapi tetap saja Ranting tidak bisa membayangkan keluarganya jadi olokan, bahan gosip penghuni sekolah.

“Trus gimana dong, Dam?” Ranting menjatuhkan kepalanya di atas lengan.

“Lo privat class aja saja Bu Wid.”

Mendengar nama yang disebut Damar, sontak Ranting mengangkat kepala. Dia bergidik, bulu kuduknya mendadak merinding. “Lo mau bikin smart watch gue eror karena gak sanggup bunyi mulu?”

Damar terkekeh. “Bu Wid gak sehoror itu kali.”

“Gak bagi lo, buat gue dia udah kayak malaikat pencabut nyawa.” Sekali lagi, Ranting bergidik, membayangkan privat class dengan guru kimia itu benar-benar menakutkan.

Bu Wid terkenal sebagai guru paling killer, bahkan siswa seperti Arga yang terkenal paling badung pun tak berkutik di kelasnya.

Meski sekolah ini milik ayahnya Ranting aka Bapak Danu Andara yang terhormat, tidak serta merta membuat Ranting diperlakukan spesial. Dia sama seperti yang lain, wajib datang sebelum bel berbunyi, mengerjakan PR, membayar SPP yang terkenal paling mahal di antara sekolah swasta lain, dan tentu saja dia tidak bisa menyabotase nilainya.

“Ya, udah gue aja yang ngajarin lo, tapi gak gratis.”

Ranting memutar bola mata. “Diajarin sama lo yang ada otak gue makin ngebul, karena cara ngajar lo yang aneh itu.” Dia pernah meminta bantuan Damar di semester pertama, bukannya memberitahu langkah-langkah pengerjaan yang baik, Damar justru langsung memberikan rumus praktis. Hasilnya, saat mendapati soal lain yang serupa, Ranting tidak bisa mengerjakannya. Dia lantas berpesan pada Damar agar tidak jadi guru nantinya.

“Ya udah, lo minta bantuan aja sama bokap lo buat nyariin guru privat!” ujar Damar, lelaki berkulit kelewat putih untuk ukuran cowok itu.

Kedua alis Ranting terpaut, membuat area di antara alisnya berkerut dalam. “Boleh juga saran lo,” balasnya.

“Saran gue emang selalu bagus, lo aja yang kadang ngremehin.”

“Heh, bibir seksi!” Itu panggilan khusus Ranting untuk Damar, alasannya karena bibir tipis cowok itu yang merah bak memakai lipstik. Ranting bahkan sempat meng-captur bibir Damar dan menyuruh teman-temannya untuk menebak itu bibir cewek atau cowok, hasilnya nyaris semua menjawab cewek.

Damar mendesis, matanya sedikit melotot, dia tidak suka dipanggil seperti itu. Namun, Ranting justru terkekeh, Damar itu tipe penyabar, adem kayak ubin masjid,  jadi akan terlihat menggemaskan saat kesal atau marah.

Ranting menilik smart watch di tangan. Benda itu selain berfungsi sebagai penunjuk waktu, juga menjadi penunjuk detak jantungnya, yang akan berbunyi tiap detakkannya abnormal, juga sebagai pengingat untuk minum obat. “Ah, udah, ah, gue mau keluar,” ujar Ranting sembari bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana lo?”

Pertanyaan Damar hanya ditanggapi Ranting dengan lambaian tangan tanpa menoleh.

Gadis itu terus berjalan ke selatan, melewati koridor-koridor, taman, gedung kesenian, dan berhenti di lapangan bola SMA Garuda yang terletak paling belakang. Ranting duduk di tribun paling atas, sengaja memisahkan diri dari siswa lain terutara cewek yang heboh meneriakkan satu nama.
Ranting tidak paham posisi pemain dalam sepak bola. Dia hanya tahu jika orang-orang di lapangan itu harus memasukkan bola ke gawang, mencetak skor sebanyak-sebanyaknya. Dia juga sebenarnya tidak terlalu peduli tentang itu. Baginya menang kalah sama saja.

Namun, saat si kulit bundar berada di bawah penguasaan pemain bernomor punggung tujuh, dia akan berdebar. Ah, bahkan bukan hanya saat memainkan bola, mata Ranting akan mengikuti gerak yang dilakukan cowok itu, sekali pun si nomor tujuh hanya sedang menyeka keringat.

Namanya Jagad Pradipta, siswa populer di SMA Garuda. Di lapangan dia mendapat julukan Ronaldonya Garuda, di dalam kelas dipanggil Si Jenius. Semester satu kemarin dia menduduki peringkat satu paralel. Sungguh ciptaan Tuhan yang terlalu sempurna, batin Ranting.

Semua orang tahu Ranting sakit. Semua orang tahu Ranting lemah dalam kimia. Tapi tidak ada yang tahu jika Ranting diam-diam sering memperhatikan Jagad seperti ini, jika dia menyukai cowok itu secara rahasia.

Hingga satu hari insiden itu terjadi, Ranting yang setengah berlari menuju kelasnya, tiba-tiba oleng, jatuh. Buku-buku yang semula dia dekap berhamburan, dan selembar kertas yang terselip di salah satunya melayang, menampilkan sketsa wajah seseorang. Jagad Pradipta.

Keadaan yang ramai membuat para siswa segera menyadari gambar itu. Lalu berita pun menyebar, Ranting naksir Jagad.

“Duh, gimana nih, Dam? Apa gue mati aja? Ah, atau gue operasi plastik aja ke Korea? Duh!” Ranting menjatuhkan kepalanya di meja.

DetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang