“Siapa yang bilang? Jagad?” kejar Damar. Rahangnya mengeras. “Emang perlu dikasih pelajaran tu cowok!” desisnya lagi. Dia berbalik, bermaksud mengejar Jagad.
“Eh, Dam, mau ngapain!” Namun, perkataan Ranting menghentikannya.
“Gue mau ngasih pelajaran sama tu cowok belagu! Lo tunggu di sini!”
Ranting menggeleng membuat Damar mengernyit bingung. “Dia gak salah, Dam. Gak perlu dikasih pelajaran juga.” Ranting mengusap wajahnya, kali ini tangisnya sudah benar-benar berhenti. Menyisakan jejak berupa mata dan hidung yang memerah. Dia lalu menjelaskan kejadian sebelumnya.
“Ngerepotin!”
Meski ucapan Jagad hanya serupa gumaman, tapi Ranting bisa mendengarnya. Hal yang kemudian membuatnya menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bukan karena emosi, tapi karena berusaha menytabilkan detak di dada.
Beberapa saat setelahnya kondisinya mulai membaik. Ranting menatap Jagad. “Jagad capek, ya, ngajarin gue?” tanyanya.
“Bukan capek, tapi lo mesti serius, dong! Waktu itu berharga banget buat gue,” tekan Jagad.
“Sorry, ya, tadi emang gak sengaja.” Ranting menggigit bibir bawah, pipinya bersemu. Dia malu, sungguh. Dia juga tidak tahu kenapa bisa seterpesona itu dengan Jagad. “Tapi abis ini gue janji bakal lebih serius!” tambahnya lagi sungguh-sungguh.
“Gak usah pakai janji-janji kaya wakil rakyat aja!” Jagad menghela napas. “Gih kerjain lagi!” Dia menyodorkan kertas.
“Oke!” Ranting mengangguk antusias.
Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada progres signifikan. Seakan jadi bukti kalau Ranting tak mendengar penjelasan Jagad beberapa saat lalu.“Ini masih salah, lo bisa bedain mana unsur logam sama non logam gak, sih?” Jagad berkata gemas, tangan yang memegang pulpen itu terkepal erat.
Ranting menunduk, merutuki diri. “Gue kerjain lagi, ya?” mohonnya lagi.
Berdecak keras, Jagad berdiri. “Lo kerjain sampai bener! Baca nih buku-bukunya! Awas aja kalau besok masih salah!” ucapnya sebelum pergi.
“Lho, Jagad mau pulang?”
Teriakan Ranting pun tidak digubris.
Setelah mendengar cerita lengkap Ranting, Damar menghela napas lega. Setidaknya Jagad tidak menyakiti cewek itu. “Jadi, lo gak papa sekarang?”
Ranting mengangguk. Senyum terkembang dari ujung ke ujung bibirnya.
Damar mendengkus tawa. “Dasar. Ya, udah ayo pulang!”
***
Jagad sedang duduk di tepi lapangan basket, earphone tersumpal di telinga, sedangkan matanya tertuju ke arah lapangan, di mana teman-temannya tengah bermain di sana. Dia sendiri tidak tertarik untuk ikut terjun, meski Pramono dan beberapa anak lain mengajaknya.
Gerakan dari arah kirinya menginterupsi, Damar berdiri satu langkah darinya. “Gue perlu ngomong sama lo!”
Jagad tidak menjawab, tapi dia berdiri, lalu mengikuti Damar melangkah pergi. Mereka berhenti di belakang ruang seni.
“Apa?” tanya Jagad sembari melepas benda yang menyumpal telinga.
“Ini tentang Ranting.”
Jagad tak berekspresi apa-apa seperti sudah menduga apa yang akan dikatakan cowok di depannya.
“Gue harap lo gak terlalu keras sama Ranting,” lanjut Damar. “Dia mungkin agak susah nangkep pelajaran, tapi gue harap lo memaklumi, karena gimana pun fisik Ranting gak sama kayak orang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak
Fiksi RemajaDiam-diam Ranting menyukai Jagad, cowok paling pintar di angkatannya. Dia tidak berniat memberitahu siapa pun, tidak juga berniat menyatakan cinta pada Jagad. Namun, satu hari, tanpa disengaja gambar sketsa wajah Jagad terjatuh dari selipan buku Ra...