“Gue gak peduli lo mau naksir sama siapa aja atau lo mau gambar sketsa wajah siapa aja, ASAL orang itu BUKAN GUE!”Desah cukup keras kembali keluar dari bibir Ranting tiap kali mengingat kalimat Jagad itu. Cewek itu sedang berada di kamarnya. Tidur tengkurap sembari memeluk boneka Lumba-lumba ukuran jumbo. Matanya menerawang, dinding bercat biru di depannya seperti tengah menampilkan seraut wajah garang. Wajah Jagad dan kata-kata pedasnya.
Adalah bohong jika Ranting baik-baik saja dengan perkataan itu. Hati kecilnya menjerit ngilu. Ranting merasa cowok itu sudah membangun tembok tinggi di antara mereka. Padahal sejenak tadi, dia sempat berpikir jika mereka bisa berteman. Tapi Jagad justru terlihat amat membencinya.
Apa dia sejelek itu?
Kenapa Jagad bahkan seperti tidak ingin berurusan dengannya?
Suara ketukan di pintu kamar menginterupsi Ranting. Menoleh, didapatinya sang ayah berjalan mendekat. “Lagi apa, Sayang?” sapa Danu Andhara.
“Pa ....” Ranting mengulas senyum, bangkit dari rebahan menjadi duduk memeluk boneka. “Gak ngapa-ngapain, Pa. Papa tumben udah di rumah?” Ranting menilik sekilas jam digital di nakas, belum ada jam enam. Biasanya ayahnya baru ada di rumah ba’da Isya.
“Kebetulan kerjaan papa selesai lebih cepat.” Danu duduk di tepi ranjang di samping Ranting. “Katanya tadi kamu pingsan?” Dia menyentuh bahu anaknya, raut khawatir tampak dari wajahnya.
“Ah, itu cuma kaget aja tadi, Pa.” Ranting meringis.
“Tapi gak papa, kan? Gak ada yang sakit?”
Kepala Ranting terangguk. “Ranting sehat, Pa. Liat!” Dia merentangkan dua tangannya, menggerakkan-gerakkan tubuhnya. Seakan ingin membuktikan pada ayahnya jika dia sesehat itu, dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Syukurlah.” Lelaki berambut tersisir rapi ke belakang itu tersenyum.
“Jangan bilang papa pulang cepet karena ini.”
Danu terkekeh. “Jadi, putri papa ini gak mau kalau papanya pulang cepet?” godanya.
“Ih, ya gak gitu, Pa. Aku cuma gak mau kerjaan Papa keganggu.”
“Enggak, Sayang. Mau sesibuk apa pun papa, kamu tetep yang nomor satu.”
“Papa ....” Ranting segera memeluk ayahnya, merasa terharu dan juga bangga. Di saat banyak isu yang beredar mengenai ayah yang tidak sempat memperhatikan sang anak karena sibuk bekerja, Ranting mendapat kasih sayang yang melimpah ruah dari orang tuanya. Ranting tidak pernah kekurangan perhatian di tengah kemewahan yang keluarganya miliki.
“Oh, iya, papa juga ada kabar gembira buat kamu.”
Ranting menjauhkan tubuhnya, menatap sang ayah. “Kabar apa?” Alisnya bertaut, tapi matanya berbinar, merasa tak sabar menanti kabar baik itu, meski dia juga belum bisa menebaknya.
“Soal les pelajaran IPA.”
Alis Ranting berjengit. Dia ingat beberapa hari lalu sempat meminta ayahnya mencarikan guru les untuk pelajaran IPA.
“Papa udah dapet gurunya?” tanya Ranting antusias.
Danu mengangguk. “Gurunya spesial karena seumuran sama kamu. Papa yakin sih nantinya kamu gak bakal canggung, malah bisa jadi lebih cepet nyantol materinya.”
Kedua alis Ranting kembali bertaut. Dia penasaran akut. “Emang siapa, Pa?”
Senyum ayahnya tersungging lebar. “Dia temen sekolah kamu ... Jagad Pradipta.”
Seketika seperti ada yang menjatuhi kepala Ranting dengan batu. “Ja-Jagad, Pa?” beonya terbata.
“Iya. Dia yang kemarin peringkat satu paralel, kan? Papa udah minta kepala sekolah untuk melobi Jagad. Dan kabar baiknya anak itu mau.”
Sekeliling Ranting mendadak berputar-putar. Dia tidak menyangka jika akan seperti ini jadinya. Mana dia tahu kalau ayahnya justru akan memilih Jagad sebagai guru les? Yang lebih krusial adalah apa yang dipikirkan Jagad saat ini?
***
Tiga jam sebelumnya.
Bel tanda pelajaran usai baru saja berdentang. Tak seperti siswa lain yang berebut keluar kelas, Jagad santai membereskan peralatan sekolahnya. Juga tak seperti anak-anak lain yang melesat menuju gerbang sekolah, dia justru berjalan ke kantor guru, tepatnya ruang kepala sekolah. Beberapa saat lalu dia diberitahu untuk menghadap kepala sekolah setelah pelajaran usai.
Ruang kepala sekolah terletak terpisah dari ruang guru lain. Ruangannya selain memiliki meja kerja sendiri juga ada satu set sofa. Beberapa piala berjejer di etalase di dinding sebelah timur. Juga ada landscape peta SMA Garuda.
“Silakan duduk, Jagad,” kata Pak Ridwan, kepala sekolah SMA Garuda.
Jagad duduk di sofa hijau lumut di ruangan itu. Persis di hadapan Pak Ridwan. Meja kaca rendah memisahkan mereka.
“Terima kasih sudah datang kemari. Bapak harap kamu gak sedang terburu-buru.”
Jagad melengkungkan senyum tipis. “Saya gak terburu-buru, kok, Pak. Jadi, ada apa, ya?”
“Begini ....” Lelaki berkumis tipis dengan rambut yang sebagian beruban itu menegakkan badan. “Nilai kamu, kan, yang tertinggi seangkatan kelas X. Bapak perhatikan nilai-nilai pelajaran IPA juga bagus.”
Cowok berseragam SMA itu masih mendengarkan.
“Bapak punya penawaran bagus buat kamu.”
“Penawaran?” ulang Jagad dengan nada tanya.
Pak Ridwan tersenyum lebar. “Kamu tau Pak Danu yang punya sekolah ini, kan?”
Jagad mengangguk, meski belum pernah bertemu langsung dengan Pak Danu. Jagad hanya sekilas lihat saja saat lelaki itu berkunjung ke sekolah.
“Dia juga yang sudah memberikan beasiswa untuk kamu, Jagad.”
Lagi, Jagad mengangguk. Perasaannya mulai tak nyaman. Apa beasiswanya bermasalah?
Mendadak dia teringat Ranting, anaknya Pak Danu. Lalu mulai terbesit pemikiran negatif, jangan-jangan Ranting mengadu pada ayahnya? Memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi, Jagad menelan ludah. Dia bisa saja tetap bersekolah di sana tanpa beasiswa tapi itu artinya dia dan ibunya harus bekerja ekstra.
“Kamu tau anaknya yang juga kelas X, namanya Ranting.”
Untuk ke sekian kali Jagad mengangguk.
“Nah, dia sedang butuh guru privat untuk pelajaran IPA. Kamu mau, kan, jadi guru privatnya Ranting?”
“Apa?”
***
Jagad mengetuk-ketukkan pangkal pulpennya di meja. Niat awalnya ingin belajar, tapi otaknya justru melanglang buana, bukan tertuju pada buku di hadapannya. Rentetan kejadian hari ini adalah penyebabnya.
Dia ingat bagaimana telah memberi peringatan pada Ranting untuk tidak berurusan dengannya. Lalu disusul ingatan sepulang sekolah saat dipanggil Pak Ridwan. Jagad merasa itu ada korelasinya. Diam-diam Ranting menggunakan kekuasaan sang ayah untuk menjeratnya.
“Dasar!” Jagad mendengkus keras. Dia sudah terbiasa dengan kelakuan anak-anak kaum elite yang sok menjadikan apa yang orang tua miliki sebagai milik sendiri. Berlagak seolah begitu hebatnya.
Namun, menjumpai yang serupa Ranting baru kali ini bagi Jagad. Dia tidak lupa bagaimana cewek itu terlihat polos, bahkan cenderung takut saat Jagad mengeluarkan ancaman tadi siang. Namun, bak serigala berbulu kambing, cewek itu justru mengeluarkan jurus lain. Menjebak Jagad dengan cara yang tidak mungkin dia tolak.
Ya, Jagad mau tidak mau menerima tawaran itu. Tidak mungkin, kan, dia menolak permintaan dari orang yang telah membiayai pendidikannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak
Teen FictionDiam-diam Ranting menyukai Jagad, cowok paling pintar di angkatannya. Dia tidak berniat memberitahu siapa pun, tidak juga berniat menyatakan cinta pada Jagad. Namun, satu hari, tanpa disengaja gambar sketsa wajah Jagad terjatuh dari selipan buku Ra...