3. Jagad-Genius

25 13 2
                                    

Ada dua hal yang Jagad tidak sukai di dunia ini, kebohongan dan kelemahan. Dia benci orang-orang yang berdusta walau dengan dalih demi kebaikan. Dia juga tidak suka orang-orang menunjukkan kelemahannya, seakan meminta belas kasihan dari sekitar. Karena menurutnya setiap orang dibekali kemampuan, tinggal bagaimana menggali dan mengasahnya.

Saat mulai bersekolah di SMA Garuda lewat jalur beasiswa prestasi, Jagad sudah berniat untuk tidak menunjukkan kelemahannya. Meski secara ekonomi dia berada jauh dari anak-anak lain, Jagad tidak pernah menampakkan rasa rendah diri. Dia senantiasa mengangkat kepala, menunjukkan kehebatannya dalam prestasi baik akademik maupun non akademik.

Alhasil semester satu kemarin dia menduduki peringkat pertama paralel kelas X. Tak hanya itu, cowok dengan tinggi 177 cm itu juga menunjukkan taringnya di bidang olahraga. Dia menjadi striker di tim inti sepak bola SMA Garuda, Garuda squad.

Setengah tahun bersekolah nama Jagad Pradipta sudah dikenal nyaris seluruh penghuni Garuda. Dari kelas X sampai XII, dari tukang kebun sampai pemilik yayasan. Jagad menjadi casanova, pangeran sekolah yang dipuja. Tak hanya karena paras yang rupawan, tinggi yang layak jadi model, tapi juga karena kemampuan otak dan fisiknya. Jagad menjelma bak mega bintang di SMA Garuda.

Sudah berpuluh surat cinta yang Jagad terima baik dari sesama angkatan atau senior. Dari tulisan berupa puisi-puisi sampai kalimat to the point serupa, “Aku suka kamu.”

Setiap kali Jagad latihan di lapangan, tribun akan dipenuhi penonton yang sebagian besar kaum hawa. Mereka yang tak segan meneriakkan nama Jagad, memberikan yel-yel penyemangat.

Sayangnya, Jagad tidak tertarik dengan semua itu. Suara-suara histeris itu seakan tak  berpengaruh, tak membuat Jagad mati gaya, atau justru tebar pesona. Dia tetap Jagad yang lempeng. Begitu pun dengan surat-surat yang diterima, hanya akan berakhir di tempat sampah di rumahnya. Terkadang dia juga tidak sempat membacanya.

“Dapet surat lagi, Nak?” Fatimah, ibu Jagad menyentuh surat bersampul merah muda itu di meja belajar Jagad. Dia membukanya, membaca isinya.

Senyum terbit di bibir wanita tiga puluh delapan tahun itu. “Tulisannya rapi, puisinya juga bagus,” pujinya.

“Ya emang bagus, Bu, orang tinggal nyomot di internet,” komentar Jagad. Dia menggantung seragamnya di belakang pintu, menyisakan kaus oblong hitam di badan. Lalu duduk di tepi ranjang.

“Kok kamu tau?”

“Ya, taulah, Bu.”

Fatimah menghampiri putra semata wayangnya. Duduk di sebelahnya. “Cantik tapi anaknya? Kamu kenal?”

“Cewek ya pasti cantik, Bu, masa ganteng.”

Ibunya terkekeh. “Kamu gak suka karena cantik?”

“Cantik tapi otak kosong buat apa?”

Fatimah mengangguk, paham betul dengan sifat anaknya. Jagad tidak menolerir kebodohan karena menurutnya itu juga kelemahan, lemah berpikir dan lemah berusaha.

“Tapi gak ada salahnya berteman, kan?” Fatimah mengusap kepala anaknya.

“Berteman sama anak-anak yang gak ngerti susahnya nyari duit tuh cuma buang-buang waktu, Bu. Mereka Cuma bisa foya-foya sambil pamer kekayaan.”

Mendengar penuturan putranya, justru membuat mata Fatimah memanas. Hatinya serasa dicubit. Sebagai anak yatim, Jagad sudah terbiasa membantu ibunya mencari uang sejak kecil. Hal yang seharusnya belum Jagad rasakan. Harusnya anak itu menghabiskan masa remajanya bersenang-senang, berteman dengan banyak orang. Tapi karena perekonomian mereka, Jagad harus hidup berbeda dari anak-anak lainnya.

“Maafin ibu, ya, Nak?” ujar wanita itu lirih, sedikit serak.

Jagad menghela napas. Dia tidak suka jika ibunya mendadak merasa bersalah seperti ini. Padahal Jagad tidak menuntut permintaan maaf itu. “Berapa kali aku bilang, sih, Bu, Ibu gak perlu minta maaf sama aku.” Dia meraih tangan ibunya, menggenggam dengan kedua tangan, lantas menciuminya. “Aku bahagia dan bersyukur jadi anak ibu,” tambahnya dengan menatap ibunya lekat.

Jagad bersyukur tumbuh bersama ibunya yang membuatnya tahu perjuangan untuk bertahan hidup. Karena dengan begitu dia menjadi lebih bisa menghargai orang. Karena dengan begitu dia semakin terpacu untuk tidak menyia-nyiakan masa mudanya.

Dia bertekad untuk belajar dengan giat sehingga beasiswanya tidak lepas. Sehingga nantinya PTN-PTN yang akan mencarinya. Juga tawaran pekerjaan yang datang padanya.
Untuk itulah dia tidak punya waktu meladeni para penggemarnya.

***

“Eh, udah denger belum, si Ranting, kan juga naksir sama Jagad.”

Mulanya Jagad tidak memedulikan suara itu. Dia terus berjalan menuju kelasnya di XA. Namun, seiring langkah kaki, selentingan-selentingan itu kian menjadi, semakin banyak dan membuat panas kuping.

“Kemarin gue liat gambar sketsa wajah Jagad di bukunya Ranting.”

“Ish, saingan gue makin banyak, dong. Kalah pamor dong gue sama anak pemilik yayasan.”

Jagad mendesis, anak-anak itu apa tidak punya aktivitas yang lebih bermanfaat selain bergosip? Lagi pula siapa yang menyebar gosip seperti itu? Jagad meletakkan ranselnya dengan sedikit kasar ke atas meja, membuat Pram yang duduk di belakangnya berjengit.

“Eh, Si Bos, baru dateng udah asem bener mukanya,” ujar cowok tambun bernama lengkap Pramono, tapi lebih suka dipanggil Pram itu.

“Anak-anak pada bikin gosip apa lagi, sih, Mon? Panas kuping gue!” Jagad bertolak pinggang.

“Mon, Mon! Pram, Jagad, Pram!” ralat Pram gemas.

Jagad hanya menanggapi dengan kerlingan mata, itu nggak penting.

“Gosip, ya,” ujar Pram kemudian, “ah lo gak di luar sih, kemarin.”

“Ada apaan emang?”

“Gila, sih, lo. Pesona lo emang ngalah-ngalahin gue!” Pram menggeleng-geleng.

“Jadi intinya apa?” potong Jagad cepat, tidak sabar.

“Lo tau Ranting dong, cewek cantik anak pemilik sekolah ini?”

Jagad menggumam. Dia belum pernah melihat Ranting secara langsung. Dia cuma sesekali mendengar dari anak-anak yang kebetulan membicarakannya. Bahwa Ranting si anak kaya, tapi sayang penyakitan.

“Dia kayaknya juga naksir ama lo, Ndro. Gile, gile ...” Pram menggeleng dramatis. “Pakai susuk apa, sih, lo? Bagi info napa?”

Jagad berdecak. “Itu pasti cuma gosip.”

“Yang gosip siapa? Itu nyata terpampang di depan mata. Ranting punya sketsa wajah lo. Yang gue denger dia jago gambar, itu artinya dia yang ngelukis sendiri wajah lo. Ya Tuhan, Jagad, gue mau juga dilukis.”

“Ya, bisa aja itu tugas seni rupa.”

“Gak ada tugas kayak gitu. Setau gue tugas dari Pak Ahad di semua kelas X sama.”

“Siapa tau buat dijual, muka gue komersil, meski harusnya minta izin dulu sama gue.” Jagad masih berusaha menyangkal.

“Helooo, Jagad yang jenius kek gue, sejak kapan anaknya pemilik sekolah butuh duit dengan cara ngejual lukisan? Dia minta monas juga langsung dibeliin sama bokapnya.”

Jagad kehabisan kalimat untuk menyangkal. Meski sangat ingin membuktikan jika kabar itu tidak benar. Bukan hanya karena tidak menyukainya, tapi juga karena orang yang terlibat. Digosipkan disukai oleh anak pemilik sekolah jelas berbeda dengan anak yang lain. Bisa-bisa setelah ini ada kabar lain, kabar bahwa Jagad bisa bersekolah di Garuda karena anak pemilik sekolah yang menyukainya.

Cowok itu berdecak sebal. Bagaimana pun dia harus meminta cewek itu mengklarifikasinya.

--------
Assalamualaikum, terima kasih banyak untuk yang udah baca cerita ini dan masukin ke list bacaannya. Salim atu-atu..🙏😁

DetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang