04: Sebuah Lontong dan Gorengan.

12 6 0
                                    

Tepat pukul 6 pagi, aku terbangun. Jendela dan pintu rumah masih tertutup rapat. Hordeng pun belum terbuka. Tapi cahaya matahari mulai masuk ke cela-cela jendela. Tubuhku sangat lemas, dan aku malas beranjak. Tapi mengingat realita yang tak mengizinkan itu, aku beranjak untuk cuci muka dan beribadah.

Setelahnya, aku kembali duduk. Ku lihat Bapak yang sudah bangun sambil memainkan ponsel genggamnya di ujung ruangan. Hanya sekilas, lalu aku bergerak untuk mengambil ponselku yang sudah ku charger semalaman. Ini sudah menjadi rutinitas ku.

Kembali menidurkan tubuh, Bapakku menyeletuk dengan menyuruhku untuk beli sarapan diluar. Semenjak Ibu ku pergi, aku hanya bisa memakan makanan dari luar. Atau memasak telur jika memang masih ada.

Ya, tidak ada yang spesial dan aku juga tak ingin muluk.

Maka dengan kemalasan yang 100% dirasa, 100% itu juga aku berusaha melawannya. Meski kenyataan memang suka menyakitkan hidup ini; seperti yang sudah-sudah kalau aku merasa malas. Alih-alih beranjak untuk bersiap dengan kunci motor dan jilbab, aku malah hanya duduk dengan termangu.

Memikirkan sesuatu yang sedikit tak penting bila orang lain mengetahui ini. Tapi hanya sebentar, sebelum pikiranku kembali kosong dengan tatapan lekat ke kursi kosong di sebrang.

"Elah, Aliya! Lo malah bengong. Udah ayok berdiri untuk memulai hari."

Lalu aku berdiri, berjalan ke kamar untuk memakai masker serta kerudung dengan jaket abu-abu yang jarang ku cuci. Pemberian Ibuku entah kapan waktunya, namun jaket ini memang belum pernah tercuci setelah tercuci sehabis membereskan baju Ibu.

Lagi-lagi soal Ibu.

Ya, memang tak ada habisnya. Tapi aku tak mau berlarut, dan memutuskan berjalan ke depan untuk mengambil uang yang sangat pas dari Bapak. Benar pas, sampai rasanya hanya 1% yang hanya kudapatkan.

"Kayak biasa, Ya," kata Bapakku menginstruksi. Aku hanya mengangguk dan bergegas ke motor milik Bapak.

Bismillahirrahmanirrahim, semoga selamat sampai pulang.

Maka saat itu juga, aku menjalankan motorku dengan perlahan.

-----

Diperjalanan, aku bersenandung. Dari sini aku menemukan banyak hal. Mulai dari Ibu-Ibu yang heboh di tukang sayur, Bapak-Bapak yang tengah membuka gerainya, anak-anak dengan piyama dan muka kucel sehabis bangun tidur. Udara sejuk, alami, tanpa dibuat-buat. Terkadang aku merasa kedinginan sebab memang udaranya tak main-main.

Tapi itu tak apa. Selagi aku bisa berjalan dengan benar, aku bisa melakukan banyak hal.

Berjalan dalam arti kuat menghadap lurus kedepan. Berjalan dengan kuat ditengah jalanan yang penuh dengan batu kerikil menyebalkan. Berjalan dalam arti yang sedikit tersirat; penuh usaha dan makna.

Aku memperhatikan penjual lontong itu dengan seksama. Mukanya jutek, tapi sifatnya baik. Selalu ramah meski logatnya seperti orang sensi yang sedang mengalami menstruasi.

"Bu, saya beli tujuh, ya!"

"Iya, Neng. Uangnya berapa?"

"Sepuluh ribu ini, Bu."

Mungkin Ibu-Ibu ini sudah hafal dengan perawakanku. Tiap hari kerudungku itu-itu saja, alias jilbab biasa dengan motif kupu-kupu berwarna merah muda dan biru. Lalu jaket abu-abu ini juga selalu ku pakai tiap bepergian.

Kalau sudah nyaman memang susah.

"Makasih, Bu!"

Setelah mendengar kata iya dari si Ibu penjual, aku bergegas untuk pulang. Tapi sedikit menjeda, sebab aku merasa malas. Entah kapan kemalasan ini hilang.

Menetap dan DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang