Masih di hari yang sama, 13 Desember.
Pemakaman telah usai, ucapan doa tak henti-hentinya dipanjatkan. Aku menatap sendu ke tempat dimana makam Ibu berada. Rasanya masih sesak, namun aku tak menangis. Yang aku lakukan hanya menarik nafas, lalu membuangnya. Membayangkan jasad Ibu yang sudah terbujur kaku, lalu ditempatkan di bawah tanah tanpa udara masuk. Rapat, dan tak akan bisa dibuka lagi.
"Tempat yang Ibu benci itu, ketika Ibu sudah menjadi kaku lalu tertidur ditimpa tanah. Sumpek pasti, dan yang lebih pasti Ibu sudah gak nafas apabila waktunya datang."
Itu perkataan Ibu yang pernah aku dengar saat Beliau bercerita ke Mas Aji. Kala itu aku hanya terdiam, berbeda dengan Mas Aji yang berkilah, "Hus, Ibu! Jangan ngomong yang enggak-enggak deh." Karena aku yakin Mas Aji yang paling tidak mau hal itu terjadi.
Dan lihat saja, selepas kami pulang dari makam, Mas Aji hanya diam menatap kosong pada kamar yang ditempati Ibu. Aku yang melihat itu semakin sesak. Mataku panas kembali, bersiap untuk memuntahkan air mata apabila tidak dipanggil oleh Bibiku untuk membantunya menata minuman yang disediakan khusus para tamu yang hadir nanti malam.
"Aliya sabar, ya. Itu si Aji gimana?" tanya Bibiku di sela kami masih membereskan minuman air putih untuk tamu juga menyapu sampai bersih. Aku diam; tak sanggup melihat sosok yang kulihat kuat selama ini, menjadi sosok yang rapuh seperti kehilangan jiwanya.
Bibi hanya tersenyum, meski aku yakin Bibi sama sedihnya, karena Bibi lah Adik kandung Ibu. Mereka pasti bersama-sama dari kecil. Bibi juga selalu meminta bantuan ke Ibu. Bahkan ketika Bibi sudah sampai sebelum Ibu dimakamkan, Ia menangis tersedu-sedu. Merasa tidak menyangka akan jalan yang ditunjukkan Tuhan itu secepat ini. Benar, ini terlalu mendadak.
Untungnya ada keponakanku yang masih bermain-main, karena mereka belum terlalu paham sebab masih berumur 4 tahun. Jadi aku menghilangkan rasa sedihku sedikit dengan mengajak keponakan-keponakanku bermain. Tapi itu hanya sebentar sebab keponakanku kembali dititipkan kerumahnya Mas Fauzi. Aku hanya bermain bersama sekitar beberapa menit saja.
Tak apa, sekiranya itu membantu.
"Mbah dimana, Tante?" kataku. "Mbah ada dirumah Mas Fauzi juga. Bantu jagain 3 kucril," jawabnya. Aku terkekeh mendengar jawaban itu. 3 kucril katanya, kucril. Aku tak tau darimana kata itu berasal, tapi setiap menyebut keponakan-keponakanku, Bibiku dan Mbahku pasti akan menyebut mereka kucril.
Karena tak tau harus melakukan apalagi, aku duduk di pojok ruangan. Mulai kembali membuka handphoneku yang kuyakini diisi dengan kalimat duka. Karena beberapa menit saat Ibu dinyatakan pergi, aku langsung memberi tau teman-temanku untuk meminta doa. Agar Ibuku semakin tenang, dan bisa bahagia disana sebab banyak yang mendoakan.
"Aliya, mandi dulu gih kamu."
"Ntar, Mbak. Dikit lagi."
Mba Nisa datang menghampiri dan menyuruhku untuk mandi. Namun dengan cepat aku berkilah karena aku malas mandi. Mba Nisa tampak geram dan Ia berdecak. Aku yang melihatnya pun menelan ludah dengan susah payah. Karena itu, tanpa diperintahkan kembali aku pun bergegas ke kamar mandi. Tak lupa mengambil baju dan handuk dulu karena letak kamar mandi yang berada diluar kamar dan hanya 1.
Sebelum masuk ke kamar mandi, aku mendengar gumaman Mba Nisa yang berkata, "Ntar-ntar mulu, dasar gadis."
-----
Hari ini telah usai. Aku yang memang tidak ingin tidur pun ikut duduk di bawah dengan beralaskan karpet; bersama Bibi dan Mas Aji. Aku lihat jam sudah menunjukan hampir dini hari. Tapi aku tak mau tidur, begitu pula Bibi dan Mas Aji. Sebab banyak yang berkata, bahwa roh seseorang yang baru pergi, belum sepenuhnya pergi dalam sehari- bahkan seminggu.
![](https://img.wattpad.com/cover/279085985-288-k791668.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menetap dan Ditinggalkan
Não FicçãoHistori tentang gemercik api; keluarga yang tak utuh, yang sempat runtuh, namun masih bisa berusaha untuk bangkit dengan ampuh. Berkali-kali si tokoh utama berusaha kuat, berkali-kali si tokoh utama berusaha beradaptasi. Inilah, kenyataan tentang de...