[1] Pulang Setelah Sekian Lama

184 18 1
                                    

"Ngapain sih ke airport jam segini?" Danesh yang hari itu penampilannya paling berantakan, menggerutu sambil mengusap wajahnya. "Ngantuk, gila!"

"Tidur aja kalo ngantuk." Catur menunjuk lantai Bandara Soekarno-Hatta yang bersih dan tentu saja dingin. "Nanti kita bangunin kalo udah saatnya bangun."

Ibas tertawa melihat bagaimana Danesh menggerutu panjang-pendek akibat saran tak berguna Catur. Sebenarnya Ibas juga tak tahu kenapa di hari Sabtu begini ia dan Danesh tiba-tiba diseret oleh Catur ke bandara.

Catur tak mengatakan ingin menjemput atau menemui siapa. Lelaki itu hanya bilang kalau mobilnya dan Danesh harus diparkir di rumahnya, lalu mereka bisa ke bandara dengan mobil Catur.

Karena malas berdebat, Ibas menurut saja. Berbeda dengan Danesh yang kerjaannya berdebat dengan Catur, Ibas lebih suka mengikuti apa yang diinginkan temannya itu lalu mengetahui motifnya ketika memang sudah saatnya.

"Tuh dia!"

Seruan heboh Catur membuat Danesh tersentak kaget. Mata Danesh yang tadinya tinggal segaris karena ia mencoba tidur sambil duduk menunggu, kini langsung terbuka. 

Catur sudah lebih dulu bangkit dari duduknya, menyambut perempuan berkulit sawo matang yang menggeret koper serta menggandeng seorang anak kecil di sisi kanannya.

"Arum?" Danesh mengucek matanya beberapa kali, memastikan kalau perempuan yang tengah berjalan ke arah mereka sambil tersenyum itu memang benar Arum Sakanti Prasojo, sahabat mereka yang sudah pindah ke Bali sejak menikah hampir enam tahun lalu.

"Idih, masih belekan ya lo?" tuduh Arum begitu tiba di hadapan mereka, kemudian mengabsen satu-satu wajah sahabatnya hingga tiba gilirannya di wajah Danesh. 

"Enak aja!" Walau begitu, Danesh segera membersihkan sudut kelopak matanya, membuat semua orang yang ada di sana tertawa terbahak karena kelakuannya.

"Welcome, Rum," sambut Ibas sambil merentangkan tangannya, memberi gestur untuk Arum masuk ke pelukan sahabatnya tersebut.

Setelah Ibas, ganti Catur dan Danesh yang memeluknya bergantian. Tak lupa juga dengan bocah kecil yang merupakan duplikat Arum juga mendapat jatah pelukan dari masing-masing omnya.

"So?" Ibas bertanya sembari mengambil alih handle Rimowa Arum. Mereka berlima pun berjalan keluar menuju di mana mobil Catur terparkir. "Liburan berapa hari di Jakarta?"

"Tumben nggak bilang-bilang kita di grup," tambah Danesh. "Curang ya lo, ngasih tahu Catur doang!"

"Gue sengaja emang cuma ngomong ke Catur, soalnya lo berdua suka nggak bisa diandelin," sahut Arum pedas.

"Terus, laki lo mana?" Catur menatap ke sekelilingnya dan baru sadar kalau Arum benar-benar datang berdua hanya dengan anak perempuannya, Gia.

Arum tak langsung menjawab, ia beralih pada anaknya yang sudah berusia lima tahun dan terlihat senang berada di bandara itu. "Sayang, pakai earphone-nya dulu ya."

Gia mengangguk dengan riang dan menyumpal telinganya dengan earphone yang tersambung ke iPod di sakunya.

Begitu memastikan kalau anaknya sudah tak akan mendengarkan percakapan mereka, Arum menghela napas. Udara pengap dan panas khas Cengkareng menyambut Arum begitu mereka benar-benar sudah di luar.

"Nggak ada."

"Kerja?" Danesh bertanya dengan bingung.

"Bukan."

Kali ini Ibas mulai tak sabaran. "Terus?"

Arum mengangkat tangan kirinya, menunjukkan jemarinya yang kosong tanpa cincin. "Ucapin congrats  ke gue dong. Setelah Ibas jadi duda, sekarang gue nyusul jadi janda."

Catur langsung mengumpat dan Arum bersyukur karena Gia sudah memakai earphone-nya. "What the fuck, Rum?!"

TBC

Karena stres bekerja dan lagi jenuh sama naskah on-going yang ada, akhirnya aku memutuskan untuk upload cerita baru yang entah kapan lagi akan dilanjut, HAHAHA. Yang penting upload dulu.

Ini cerita yang sangat mainstream dan sangat ringan because I'm too tired to think lah. Bener-bener ditulis sesukanya dan mungkin akan sangat berantakan, WKWKWK.

02/09/2021, 01.05

Best PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang