"Udah sampai di Jakarta?"
"Udah dari seminggu yang lalu, Vin," jawab Arum seraya menatap orang-orang yang bergerak hilir mudik, merapikan florist-nya. "Gia baik-baik aja, lagi sama Mama di rumah."
"Oh, oke."
Kemudian hanya ada hening di antara mereka. Arum sendiri tidak tahu mau bicara apa dengan mantan suaminya, yang hari ini tiba-tiba meneleponnya.
Saat Arum mengira kalau Alvin akan memutuskan sambungan telepon yang canggung itu, Alvin kembali bersuara. "Bunda kangen sama Gia." Ia menyebut ibunya, yang dulu merupakan ibu mertua Arum.
"Nanti kalo aku udah luang, aku bawa Gia nemuin Bunda."
"Nggak bisa besok aja?" tanya Alvin dengan nada setengah memaksa. "Aku lupa kabarin Bunda kalau kamu udah pindah ke Jakarta, terus Bunda merengek minta ke Bali."
"Terus setelah Bunda bilang mau ke Bali, kamu nggak kasih tahu kalau aku udah di Jakarta?"
"Belum. Aku kemarin lupa kalau kamu udah ke Jakarta minggu lalu, kupikir baru mau berangkat minggu depan."
Arum menghela napas dalam-dalam. Alvin dan inisiatifnya yang secetek genangan air di jalanan memang benar-benar menguji kesabarannya.
"Ya udah, nanti aku aja yang hubungin Bunda."
"Oke. Kalau bisa, besoklah--"
"Nggak bisa, aku sibuk," tandas Arum sebelum Alvin bisa menyelesaikan kalimatnya.
Apa Alvin pikir Arum menganggur selama 24 jam sehingga bisa ke mana-mana semau Alvin?
"Udah ya, aku harus kerja."
Alvin bergumam, "Oke, jangan lupa kabarin Bunda," sebelum kemudian mengakhiri percakapan tersebut.
Arum mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang keras di belakangnya. Rasa sakitnya tak seberapa jika dibanding dengan apa yang ia rasakan setiap kali bicara dengan Alvin.
Setelah bercerai, Arum memang tak langsung pindah ke Jakarta. Ia tidak ingin Gia mengalami perubahan yang sangat signifikan dan secara mendadak.
Tinggal beda rumah dengan ayahnya saja sudah suatu hal yang besar, apalagi jika tiba-tiba pindah ke Jakarta?
Untunglah Gia tak pernah begitu rewel setelah Arum dan Alvin berpisah. Anaknya bagai mengerti kalau keadaan mereka tak sama lagi.
Alvin yang pindah rumah dan hanya bertemu seminggu sekali dengannya.
Arum yang mulai menyisihkan waktu untuk berpikir mengenai pekerjaan apa yang harus ia lakukan.
Serta orangtua Arum yang jadi rutin datang ke Bali setelah di suatu hari... Alvin tiba-tiba pergi meninggalkan rumah.
"Hei, jangan melamun!"
Teguran itu membuat Arum tersentak kaget. Di depan pintu bangunan florist-nya, Ibas berdiri seraya memegang tote bag putih berlogo Hokben dan tersenyum lebar.
"Ngagetin aja lo," gerutu Arum ketika Ibas melangkah masuk.
Lelaki itu mengamati bangunan berlantai tiga yang masih lengang tersebut.
Beberapa pekerja di area belakang juga terlihat sedang duduk-duduk di kursi yang ada di bagian teras dan menikmati makan siang yang memang sudah disiapkan Arum dan pegawai pertamanya di Laurel Florist--florist Arum yang dua minggu lagi akan resmi dibuka untuk umum.
"Belum makan kan?" Ibas menarik kursi besi yang tak jauh dari jangkauannya, lalu duduk berhadapan dengan Arum. "Gue bawain Hokben dan extra salad favorit lo nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Part
RomanceArum kembali ke Jakarta setelah bercerai dengan suaminya, tanpa memberi tahu siapa pun kecuali keluarga dekatnya. Ibas, Catur, dan Danesh--ketiga sahabat Arum--tentu saja terkejut dengan kepulangan Arum. Ketiganya mencoba membantu Arum untuk berdiri...