01. Love in Music

14 3 0
                                        

Ruangan dengan nuansa putih dan biru muda juga dengan aroma khas obat-obatan yang begitu terjaga kesterilannya. Lantai yang mengkilap seperti tidak ada debu sedikitpun diatasnya.

Alat-alat kesehatan di dalam kini sedang bekerjasama dengan dokter yang tengah menangani pasien. 

Raut kekecewaan harus mereka tampakkan pada keluarga pasien yang menunggu diluar. Helaan nafas kembali keluar. Debaran jantung juga tidak terhitung lagi kecepatannya.

Sepasang suami istri berwajah panik bercampur pasrah menyambut dokter yang baru saja keluar ruangan. Terlihat jelas sorot harapan di mata mereka yang berkaca-kaca.

"Bagaimana anak kami Dokter?" Tanya Jasmine, wanita paruh baya yang masih terjaga kebugarannya itu menatap dokter penuh harap.

"Anak ibu sudah lemah. Dengan kondisinya yang kian memburuk setiap harinya, kami tidak bisa menjamin kehidupan anak ibu akan bertahan lama."

Ucapan menyedihkan yang setiap dokter katakan ketika menghadapi pasien yang sudah terlanjur parah. 

"Apa tidak ada harapan lagi?"

"Kita hanya bisa mendoakan. Semua terjadi karena kehendak Tuhan. Semoga saja Tuhan memberikan kesempatan kedua untuk anak ibu." 

Usai obrolan menyakitkan itu, Jasmine luruh. Hatinya sakit menerima kenyataan bahwa sang anak tidak akan lama lagi di sisinya.

"Amaera akan baik-baik saja, Ma," tidak ada yang dapat laki-laki itu ucapkan untuk menenangkan istrinya yang tengah terpuruk.

Ruangan dengan suhu dingin yang menyentuh kulit. Jasmine menatap malang tubuh putri satu-satunya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit.

Tubuh kurus dengan kulit pucat seperti tidak memiliki darah. Matanya yang telah kehilangan semangatnya itu kini terpejam.

Amaera, gadis yang dulu sangat suka mengejar kupu-kupu berwarna, sekarang hanya bisa terbaring lemah. Gadis penuh mimpi yang hanya bisa meratapi nasibnya.

Jasmine mengelus rambut Amaera yang semakin hari semakin menipis. Hatinya kembali tercabik saat merasakan rambut Amaera yang meluruh. Rambut hitam legam dan cantik itu kini sudah tidak dimiliki Amaera. 

"Ma," ucap Amaera pelan.

"Iya sayang? Semuanya akan baik-baik saja. Kamu tenang aja sayang," Jasmine mencoba menenangkan sang putri. Namun, Amaera malah menggeleng, dia sudah tahu akhir hidupnya akan seperti apa.

Ini tidak akan lama.

"Bertahan ya, sayang? Maera pasti bisa sembuh. Nanti kita jalan-jalan sama Papa dan bang Ares. Sehat ya, sayang?" Jasmine terus saja membisikan kata-kata semangat untuk Amaera, walaupun dirinya rapuh. Namun, jangan sampai Amaera merasakan hal itu.

"Maera mau apa sayang?" Tanya Jasmine ketika Amaera mulai membuka mulutnya.

Gerakannya begitu lemah dan mulutnya sangatlah kaku untuk bergerak apalagi mengeluarkan suara. Banyak tenangga yang terbuang hanya karena satu kalimat ini.

"Maera mau sekolah."

Luruh sudah kesedihan Jasmine. Ibu dari dua anak itu terisak pelan. Sudah pasti keinginan sang putri tidak dapat ia turuti.

Sudah setahun Amaera tak berkunjung ke tempat belajar mengajar yang penuh dengan dunia remaja.

"Boleh. Asal Maera harus kuat dulu," Tidak ada lain jawaban yang harus dia berikan hanya untuk bisa melihat kedua sudut bibir Amaera tertarik ke atas.

Pancaran pada netrannya sudah menjawab kalau Amaera berharap penuh pada keinginannnya untuk kembali bersekolah.

Amaera hampir lupa bagaimana rasanya bangun pagi-pagi, di sibukan dengan pekerjaan rumah yang belum selesai padahal akan dinilai oleh guru mata pelajarannya. Amaera merindukan dimana itu semua.

Kini dia hanya bisa terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Berbagai macam peralatan kesehatan selalu menemani setiap harinya. Memasrahkan kehidupannya pada Sang Pencipta. Namun, Amaera tidak ingin menyerah.

Mimpinya sejak kecil belum juga terwujud. Amaera tidak ingin, masa remajanya berakhir hanya di tempat seperti ini.

🎼🎼🎼

"Apa? Bisa-bisanya Mama kasih ijin Maera sekolah lagi! Mama gak lihat apa? Maera masih terbaring seperti itu, apa Mama gak bisa mikir?"

Bintang Navarez Pramoedya, anak sulung dari Jasmine Pramoedya dan juga Rayyan Pramoedya atau kakak kandung Amaera, sangat menentang keputusan sang ibu yang ingin kembali menyekolahkan anaknya.

"Maera ingin sekolah. Hanya itu yang Maera inginkan saat ini, Ares. Apa salahnya Mama menuruti keinginannya." Jasmine masih terisak pelan. Dia terus saja melirik Amaera yang terbaring lemah dengan kedua mata terpejam. Jasmine tahu, anak gadisnya itu tidaklah sepenuhnya tidur. Amaera masih bisa mendengar keributannya dengan Ares.

"Tapi Maera masih sakit Ma! Ares gak setuju dengan keputusan ini."

"Ares, Maera pasti sembuh. Mama hanya memberikan semangat padanya untuk bisa sembuh supaya dia bisa bersekolah lagi. Mama juga berat. Namun, ini keinginan Maera. Maera pasti bisa sembuh!"

Ares menjambak rambut gondrongnya, mengacaknya sampai berantakan.

"Dengar kata dokter? Maera tinggal menunggu waktu Ma," ucapnya lirih. Emosi yang tadi menguasai dirinya kini telah hilang dan tergantikan dengan rasa sakit mengingat kehidupan sang adik begitu menderita. Ares merengkuh tubuh Jasmine. Mengusap punggung wanita yang telah melahirkannya.

"Amaera pasti sembuh. Dia pasti bisa sembuh. Nanti rambutnya juga pasti akan tumbuh lagi. Mama yakin itu Ares! Maera tidak akan meninggalkan kita di sini." Jasmine membekap tubuh Ares. Menumpahkan semua keluh kesahnya. Hatinya teriris setiap kali berhadapan dengan situasi seperti ini.

"Mama pulang dulu. Biar Ares yang jaga Maera. Papa juga masih di luar ruangan. Dia tidak berani masuk. Tenangkan Papa juga Ma. Kita harus kuat demi Amaera."

Keinginan kecil Amaera untuk kembali bersekolah di saat seperti ini sangatlah tidak memungkinkan. Namun, Amaera harus terus berdoa. Amaera ingin keinginannya terwujud sebelum ia meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

Jasmine tahu, itu tidak mungkin terjadi. Tubuh Amaera hanya bisa terbaring lemah tanpa bisa apa-apa. Putri bungsunya mana mungkin bisa sekolah?

Tapi, masih ada Tuhan. Tuhan yang memegang kehidupan Amaera. Sampai akhirnya dia berhasil menguatkan tubuhnya demi bisa kembali bersekolah.

Apa sebegitu besar keinginannya itu sampai bisa mematahkan ucapan dokter tentang keadaan fisiknya?

Meski begitu, penyakit dari dalam tubuh Amaera masih setia menemani hari-harinya.

🎼🎼🎼

"Wah Amaera sudah bisa duduk, Tan?" Kaatiya, teman masa kecil Amaera yang penuh ambisi itu datang berkunjung ke rumah sakit untuk melihat sahabat baiknya.

Jasmine yang tengah menyuapi Amaera tersenyum penuh semangat, "iya. Tante senang sekali akhirnya Amaera sudah bisa duduk dan jalan walaupun masih sangat lemah."

Sesekali mata Amaera berkedip melihat interaksi mama dan sahabatnya ini. Lama memejamkan mata di tempat ini Rona baru melihat dengan jelas perawakan Kaatiya yang jenjang. Tubuhnya sangat bagus dan indah untuk menjadi seorang model, beda sekali dengan tubuhnya yang kurus, lemah, pucat dan tidak bertenaga. Apa dia benar-benar sahabat Amaera yang selalu emosi setiap dia mengejar kupu-kupu?

"Gimana perasaanmu, Amaera? Cepat sembuh dong. Mau mengejar kupu-kupu bersamaku lagi nggak?" Candaan yang Kaatiya lontarkan bisa sedikit menghangatkan hatinya.

"Tentu saja," jawab Amaera. Kemudian melanjutkan kembali memakan makanannya. Walau terasa hambar tetapi Amaera harus tetap memakannya. Ini semua demi agar ia bisa sembuh dan segera sekolah walau tidak seratus persen.

"Ya, makan yang banyak. Nanti kita akan sekolah. Kamu harus tahu kalau di sekolah kita banyak adik kelas yang ganteng-ganteng," Kaatiya tertawa saat mengatakan itu.

"Kamu belum pernah jatuh cinta kan? Itu salah satu mimpimu yang belum sempat tercapai. Sekarang saatnya," bisik Kaatiya tepat di telinga Amaera.

🎼🎼🎼

Gimana part ini?
Terima kasih sudah baca, jangan lupa vote dan coment.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JUANA AMAERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang